Samarinda, PRANALA.CO – Persoalan tunggakan gaji yang menjerat manajemen Rumah Sakit Haji Darjad (RSHD) Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim) tampaknya bukan sekadar soal administrasi keuangan. Krisis ini kini memasuki babak baru yang memperlihatkan kerumitan struktur kepemilikan hingga sikap tertutup pihak pengelola terhadap publik.
Sejumlah institusi resmi telah menyatakan akan mengambil langkah konkret usai Idulfitri 2025. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kalimantan Timur dijadwalkan memanggil manajemen rumah sakit untuk dimintai klarifikasi.
Di saat bersamaan, BPJS Ketenagakerjaan juga menyiapkan pertemuan serupa, sedangkan BPJS Kesehatan akan mengungkap catatan evaluasi mereka saat proses kredensialing berlangsung.
Investigasi yang dilakukan DEKADE bersama media lain menemukan fakta menarik: drh. Iliansyah, yang disebut-sebut sebagai Chief Executive Officer (CEO) RSHD dan Direktur Utama PT Medical Etam (ME)—perusahaan induk rumah sakit tersebut—ternyata tidak tercatat sebagai pemilik saham, berdasarkan dokumen resmi Administrasi Hukum Umum (AHU).
Sebaliknya, nama dr. Darwin Adjis, Sp.B., seorang dokter spesialis bedah umum, tertera sebagai pemegang saham sekaligus komisaris. Namun ketika dimintai tanggapan oleh media melalui pesan WhatsApp, Minggu (6/4/2025), Darwin hanya menyarankan agar pertanyaan disampaikan ke manajemen rumah sakit.
“Supaya dapat data yang valid, langsung saja tanyakan ke Manajemen Rumah Sakit TKS,” tulis Darwin dalam pesannya.
Sayangnya, hingga kini pihak manajemen yang dipimpin drh. Iliansyah dan GM RSHD Sulikah belum memberikan respons atas upaya konfirmasi yang telah dilakukan media sejak 18 Maret 2025.
Kepala BPJS Kesehatan Cabang Samarinda, Citra Jaya, menjelaskan bahwa kemitraan antara BPJS dan rumah sakit diatur lewat perjanjian kerja sama yang fokus pada sarana, prasarana, dan izin operasional. Ia menegaskan bahwa hingga kini belum ditemukan pelanggaran yang masuk kategori pidana dalam kemitraan dengan RSHD.
“Kami tidak menilai soal upah karyawan. Itu bukan wewenang kami. Tapi evaluasi tetap dilakukan lewat kredensialing bersama Dinas Kesehatan dan Persi,” terang Citra.
Ia juga menegaskan bahwa keputusan kerja sama dengan rumah sakit bukan hanya wewenang BPJS semata. “Kami bukan satu-satunya pihak yang menentukan. Ini adalah keputusan kolektif dengan Dinkes dan Persi untuk mencegah konflik kepentingan,” tambahnya.
Dengan minimnya transparansi dan belum adanya klarifikasi resmi dari pihak manajemen RSHD, publik—terutama para tenaga kesehatan yang menggantungkan hidupnya di institusi ini—masih menunggu kejelasan. (ks/dwi)
Dapatkan berita terbaru PRANALA.co di Google News dan bergabung di grup Whatsapp kami
Discussion about this post