PRANALA.CO, Samarinda – Kekerasan terhadap anak masih terjadi di Kalimantan Timur (Kaltim). Dari data per 2016 sebanyak 185 kasus, 2017 sebanyak 311 kasus, 2018 sebanyak 283 kasus, 2019 sebanyak 366 kasus dan per Oktober 2020 sebanyak 204 kasus.
Tindak kekerasan terhadap anak yang tercatat pada pelaporan SIMFONI-PPA di Kalimantan Timur cukup bervariasi. Terbanyak yakni kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan kekerasan psikis. Kekerasan terhadap anak banyak terjadi di dalam rumah tangga anak itu sendiri, serta kekerasan yang terjadi di sekolah.
Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim, Halda Arsyad mengatakan berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPA), kasus kekerasan terhadap anak terus bermunculan.
Dia berujar hal ini merupakan fenomena gunung es. Ketika Simfoni-PPA telah mampu memfasilitasi pelaporan kejadian kekerasan, masyarakat terbuka dan melaporkan kasus kekerasan yang terjadi di wilayahnya, fenomena gunung es ini mulai terkuak.
Menurut Halda Arsyad, kenaikan jumlah kasus kekerasan menjadi warning bagi Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim dalam mengambil langkah strategis untuk mengatasi kekerasan terhadap anak.
Berbagai layanan untuk korban kekerasan anak telah diberikan sesuai dengan kasus kekerasan yang dialami, yakni berupa layanan pengaduan, kesehatan, bantuan hukum, penegakan hukum, reintegrasi sosial, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan pendampingan tokoh agama.
Fenomena kekerasan terhadap anak tersebut, menurut Halda Arsyad, memberikan dampak dalam jangka pendek maupun jangka panjang, baik untuk diri anak sendiri, bagi keluarga, bagi masyarakat, bagi negara dalam aktivitas sosial.
Konsekuensi dari kekerasan terhadap anak bervariasi tergantung pada jenis kekerasan dan keparahannya, kekerasan yang dialami oleh anak akan mempengaruhi perkembangan kognitif, sosial, emosional, dan fisik anak, serta aktivitas sosial.
Berbagai dampak negatif dapat ditimbulkan akibat kekerasan yang dialami anak, seperti dampak kekerasan fisik, dampak kekerasan psikis dan dampak kekerasan sosial.
“Dampak kekerasan fisik, yakni dampak yang dirasakan oleh anak berupa sakit secara fisik, seperti luka-luka atau memar, bahkan sampai mengalami kematian. Dampak fatal dari kekerasan fisik pada anak dapat menyebabkan cacat permanen,” urai Halda Arsyad.
Dampak kekerasan psikis seperti gangguan kejiwaan atau gangguan emosi pada anak. Dampak kekerasan ini sangat berakibat fatal bagi pertumbuhan dan perkembangan mental anak. Bahkan dampak yang sangat fatal dapat berupa percobaan bunuh diri.
Sementara dampak kekerasan sosial berupa penelantaran hak-hak anak. Korban kekerasan eksploitasi anak yang dipaksa bekerja atau anak yang dinikahkan pada usia dini akan menghilangkan hak anak untuk tumbuh kembang yang lebih baik dan untuk mendapatkan masa depan yang baik.
Upaya berseinergi antara lain dengan mengembangkan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) perlu terus dipertahankan yang telah banyak tersebar di wilayah Kaltim. DKP3A Kaltim juga menggandeng Forum Anak sebagai Agen Pelopor dan Pelapor agar dapat menjembatani berbagai informasin yang ada terutama tentang kekerasan atau kasus penganiayaan anak.
“Selain itu, perubahan pola pikir mengenai hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) khususnya bagi anak perempuan. Sosialisasi untuk mengubah pola pikir sangat diperlukan agar anak dapat menerima pendidikan dan layanan mengenai HKSR, sehingga diharapkan tidak ada lagi kejadian kekerasan seksual terhadap anak,” ujar Halda Arsyad.
[fr]
Discussion about this post