BONTANG – Data terbaru dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengungkapkan bahwa 400 kilometer garis pantai di Indonesia telah tergerus abrasi. Dari total pantai sepanjang 745 kilometer, 44 persen di antaranya telah hilang.
Salah satu wilayah yang paling terdampak adalah pesisir Tangerang, di mana 579 hektare lahan hilang dalam rentang waktu 1995-2015. Fenomena ini semakin mengkhawatirkan seiring dengan laju abrasi yang mencapai 200 hingga 500 meter dalam 10 tahun terakhir.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Abdul Muhari, menyatakan bahwa daerah-daerah yang kehilangan hutan mangrove sangat rentan terhadap abrasi.
“Sangat terlihat daerah-daerah yang ke mangrove-nya sudah tidak terjaga, sangat riskan tergerus dalam luasan yang cukup signifikan,” ujar Abdul dalam keterangannya, Selasa (28/1/2025).
Pantai Anom di Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, menjadi contoh nyata dampak abrasi yang mengkhawatirkan. Hasil citra satelit menunjukkan perubahan drastis yang terjadi dalam 16 tahun terakhir.
Pada 2009, wilayah ini masih berupa daratan dengan hamparan sawah yang luas. Namun, pada 2014, jarak laut sudah sangat dekat dengan titik yang bertuliskan “Pantai Anom” pada citra satelit.
Pada 2022, titik tersebut sudah berada di laut, dan pada 2024, daratan yang sebelumnya ada benar-benar hilang. Citra satelit terbaru yang diambil pada 24 Januari 2025 menunjukkan bahwa titik “Pantai Anom” kini berada di posisi laut, tepatnya di area Pagar Laut. Kondisi ini membuat masyarakat setempat was-was, terutama dengan ancaman banjir rob yang semakin nyata.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah memperingatkan potensi bencana banjir rob di pesisir pantai utara Pulau Jawa. Kepala Pusat Meteorologi Maritim BMKG, Eko Prasetyo, menjelaskan bahwa degradasi tanah akibat air laut dapat menjadi gerbang masuknya banjir rob.
“Jika memang terjadi penurunan tanah atau degradasi tanah, tentunya banyak hal yang terancam. Di antaranya potensi terjadinya air laut yang masuk ke daratan ketika fase rob,” ujar Eko.
Degradasi tanah dan banjir rob tidak hanya mengancam infrastruktur, tetapi juga kesehatan masyarakat. Pencemaran air, lingkungan, dan penyebaran penyakit menular menjadi risiko yang harus diwaspadai.
“Rob ini harus ditangani, tidak boleh dibiarkan. Peningkatan volume air laut yang masuk ke daratan harus dikendalikan agar kesejahteraan masyarakat pesisir tetap terjaga,” tegas Eko.
Abdul Muhari menekankan pentingnya restorasi ekosistem mangrove untuk mencegah abrasi lebih lanjut. “Mangrove berperan penting dalam melindungi pantai dari abrasi. Tanpa perlindungan ini, laju abrasi akan semakin cepat dan dampaknya semakin parah,” ujarnya.
Pemerintah dan masyarakat diharapkan bekerja sama untuk menangani masalah ini. Langkah-langkah seperti penanaman kembali mangrove, pembangunan tanggul pantai, dan sistem peringatan dini banjir rob perlu segera diimplementasikan.
“Kita tidak bisa menunggu lebih lama. Abrasi dan banjir rob adalah ancaman nyata yang harus segera diatasi,” tambah Abdul. (*)
Dapatkan berita terbaru PRANALA.co di Google News dan bergabung di grup Whatsapp kami
Discussion about this post