pranala.co – Amal yang dianjurkan untuk dikerjakan pada Muharram adalah dengan berpuasa sunah. Khususnya puasa Tasua pada 9 Muharram, puasa Asyura pada 10 Muharram dan puasa 11 Muharram.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاس رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا مَرْفُوعًا: صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ، صُومُوا يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ يَوْمًا بَعْدَهُ
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra dengan status marfu, (Rasulullâh bersabda), “Puasalah kalian pada hari Asyura dan bedakan dengan kaum Yahudi, puasalah kalian sehari sebelum atau sesudahnya.” (HR Ahmad).
Rasulullah saw berkata, “Puasa paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yakni Muharram. Sementara shalat paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam.”
Namun, dalam hadis tersebut tidak disebutkan puasa yang dimaksud itu di tanggal berapa atau setiap hari selama bulan Muharram.
Menjelaskan kapan puasa itu, Imam Almubarakfuri menguraikannya dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi, Syarah atas Kitab Sunan Tirmidzi.
Dia menulis, bahwa puasa di bulan Muharram ada tiga jenis sebagai berikut. Pertama, puasa paling utama di bulan Muharram ialah puasa di hari kesepuluh beserta satu hari sebelum dan sesudahnya, yaitu tanggal 9 dan 11. Kedua, puasa di hari kesembilan dan kesepuluh. Ketiga, puasa di hari kesepuluh saja.
Lalu, bolehkah puasa sebulan penuh dari awal sampai akhir Muharram? Habib Muhammad mengatakan hal tersebut diperbolehkan.
Meski begitu, Habib Muhammad mengatakan Rasulullah SAW ketika berpuasa sunnah satu bulan penuh akan ada yang dikosongkan beberapa hari.
“Boleh-boleh saja (puasa sebulan penuh di bulan Muharram ) tidak ada masalah dan dibenarkan karena itu termasuk bulan Muharram . Akan tetapi Nabi Muhammad SAW itu beliau kalau berpuasa (sunah) satu bulan itu biasanya ada yang kosong, ada yang dikosongkan, ada hari yang beliau tidak puasa,” kata Habib Muhammad.
Sementara itu, dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa di luar puasa Ramadhan, Nabi Muhammad SAW berpuasa sunnah hampir sebulan penuh itu pada bulan Syaban. Para ulama berbeda pendapat seperti disebutkan dalam Syarah Nawawi Ala al-Muslim.
Imam Nawawi menjelaskan bahwa mengapa Nabi Muhammad SAW pada Syaban bukan Muharram padahal Nabi SAW sendiri mejelaskan paling afdhal puasa setelah Ramadhan adalah puasa sunnah di Muharram.
Namun mengapa Nabi SAW justru lebih banyak bahkan hampir sebulan penuh berpuasa sunah itu dilakukan pada Syaban?
Pertama, karena kemuliaan Muharram datang atau diberitahukan di akhir hayat Nabi Muhammad SAW. Sementara Nabi Muhammad SAW telah banyak melakukan puasa sunnah pada Syaban.
Kedua, Nabi Muhammad SAW banyak berpuasa sunnah pada Syaban karena pada bulan itu amal akan dilaporkan kepada Allah SWT.
Ketiga, Nabi tidak puasa sebulan penuh baik pada Syaban dan Muharram agar umatnya tidak menganggap itu adalah wajib hukumnya berpuasa penuh. Keempat, pada Muharram, Nabi sering safar sehingga tidak sepenuh Syaban.
“Intinya adalah kita diperintahkan Nabi Muhammad dari dua belas bulan ini jangan sampai ada bulan yang kosong dari berpuasa. Minimal ada sehari puasa (dalam sebulan), jangan di hari yang diharamkan seperti hari raya, tasyrik, itu dilarang. Selain itu, pokonya jangan sampai sebulan itu kosong dari berpuasa,” katanya.
Berikut niat puasa Muharram
Nawaitu shaumal Muharrami lilâhi ta’âlâ.
Artinya : Saya niat puasa Muharram karena Allah ta’âlâ.
Niat puasa Asyura secara lengkap:
Nawaitu shauma Âsyûrâ-a lilâhi ta’âlâ.
Artinya : Saya niat puasa Asyura karena Allah ta’âlâ. Selain niat di dalam hati juga disunnahkan mengucapkannya dengan lisan.
Tata cara puasa Muharram
Pertama Berniat
Kedua, makan sahur. Lebih utama makan sahur dilakukan menjelang masuk waktu subuh sebelum imsak.
Ketiga, melaksanakan puasa dengan menahan diri dari segala hal yang membatalkan, seperti makan, minum dan semisalnya.
Keempat, lebih menjaga diri dari hal-hal yang membatalkan pahala puasa seperti berkata kotor, menggunjing orang, dan segala perbuatan dosa.
Kelima, segera berbuka puasa saat tiba waktu maghrib. (Ibrahim al-Bajuri, Hâsyiyyatul Bâjuri ‘alâ Ibnil Qâsim al-Ghazi, [Semarang, Thoha Putra], juz I, halaman 292-294).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Discussion about this post