KEPALA Adat Besar Kung Kemul Kaltim-Kaltara, Indra Bengeh, meminta pihak lain untuk tidak memperkeruh persoalan di Desa Long Bentuq terkait klaim lahan Dayak Modang. Karena persoalan bisa diatasi dengan duduk bersama, hati dingin, dan tanpa provokasi .
“Jadi, jangan ada provokasi dari pihak lain yang punya tujuan tertentu,” tegas Indra dalam rilisnya.
Untuk itulah Indra mengimbau semua pihak khususnya masyarakat Adat Dayak di Kalimantan Timur [Kaltim], agar tidak memberi komentar jika tidak memahami permasalahannya. “Selain itu, agar tidak menggiring opini ke arah agama dan etnis tertentu serta tidak mendukung aksi dan reaksi yang terjadi,” lanjut Indra.
Menurut Indra, upaya penyelesaian sebenarnya sudah dilakukan sejak 2015. Ketika itu mediasi Pemkab Kutai Timur memberikan berbagai opsi. “Namun masyarakat adat Dayak Modang menolak. Mereka tetap berharap, tuntutan Rp15 miliar dikabulkan,” kata Indra.
Pada 2015 juga, tepatnya 13 Agustus, Indra Bengeh mengaku mengikuti rapat di Kantor Desa Long Bentuq. Namun, lagi-lagi masyarakat adat Dayak Modang Desa Long Bentuq, menolak opsi kerjasama dan nilai tuntutan.
“Ketika itu, menurut Kepala Adat Daud Lewing, yang penting Rp 15 miliar diantar, maka persoalan selesai,” kata Indra.
Pemortalan jalan pada 30 Januari 2021 sendiri, menurut Indra merupakan puncak aksi. Indra Bengeh menyayangkan aksi tersebut tidak pernah melibatkan lembaga adat di Kutai Timur. Padahal, lembaga adat di Kutai Timur merupakan jembatan antara Pemerintah dengan masyarakat.
“Back up dan campur tangan DAD Provinisi dan juga Saudara Elisason, sangat menginjak harkat, martabat dan harga diri lembaga adat dan masyarakat adat Kutim,” kata dia.
Indra Bengeh juga mengatakan, semua pihak harusnya mendukung mediasi Plt. Bupati Kutim, 10 Februari 2021. Apalagi, kesepakatan juga ditandatangani Ketua DAD. Nyatanya masyarakat adat menolak dan ujung-ujungnya mematok lokasi yang dipimpin Elisason.
Terkait klaim hutan adat di Kesultanan Kutai Kartanegara, termasuk persoalan masyarakat adat Dayak Modang Desa Long Bentuq, Sultan Kutai Kartanegara Adji Mohammad Arifin akhirnya mengeluarkan maklumat.
Dalam maklumatnya, Sultan mengutuk pengakuan dan klaim secara sepihak, terkait hutan adat. Apalagi, jika secara historis dan hukum positif masih memerlukan pembuktian konkret.
“Karena sangat bertentangan dengan nilai luhur Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura,” tutur Sultan.
Selain itu, lanjut Sultan, dalam menyelesaikan perselisihan atau persengketaan, hendaknya mengutamakan musyawarah. Jika tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan, maka setiap warga negara wajib tunduk dan mengikuti mekanisme hukum dan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
[RIL]
Discussion about this post