PRANALA.CO, Jakarta – Kementerian Agama (Kemenag) akan menggelar Sidang Isbat untuk menetapkan awal Syawal 1446 Hijriah atau Hari Raya Idulfitri 2025 pada Sabtu, 29 Maret 2025. Sidang ini akan menentukan kapan umat Islam di Indonesia merayakan Lebaran dengan metode hisab dan rukyat, sesuai Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 2 Tahun 2024 tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.
Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag, Abu Rokhmad, menjelaskan bahwa berdasarkan perhitungan astronomi (hisab), ijtimak atau konjungsi bulan terjadi pada 29 Maret 2025 pukul 17.57.58 WIB.
Posisi hilal diprediksi berada antara minus tiga derajat di Papua hingga minus satu derajat di Aceh saat matahari terbenam. Dengan data tersebut, besar kemungkinan Ramadhan akan digenapkan 30 hari, sehingga Idul Fitri jatuh pada Senin, 31 Maret 2025.
“Data-data astronomi ini kemudian kita verifikasi melalui mekanisme rukyat,” ujar Abu Rokhmad, Jumat (28/3/2025).
Sidang Isbat akan diawali dengan Seminar Posisi Hilal Awal Syawal 1446 H pada pukul 16.30 WIB, yang menghadirkan berbagai pihak, termasuk duta besar negara sahabat, ahli falak, perwakilan ormas Islam, serta instansi terkait seperti LAPAN, BMKG, BRIN, dan Planetarium Bosscha.
Pada pukul 18.45 WIB, Sidang Isbat digelar secara tertutup dan hasilnya akan diumumkan dalam konferensi pers oleh Menteri Agama, Nasaruddin Umar. Rukyatul hilal sendiri akan dilakukan di 33 titik pengamatan di seluruh Indonesia, kecuali Bali karena bertepatan dengan Hari Raya Nyepi.
Potensi Penetapan Lebaran Serentak
Jadwal Lebaran 2025 diprediksi akan seragam di Indonesia, mengingat Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah telah lebih dulu menetapkan 1 Syawal 1446 H jatuh pada 31 Maret 2025 berdasarkan Maklumat PP Muhammadiyah Nomor 1/MLM/I.0/E/2025. Hal ini menandakan kemungkinan besar pemerintah akan menetapkan tanggal yang sama.
Dalam Rapat Koordinasi (Rakor) persiapan rukyatul hilal, Abu Rokhmad menekankan bahwa rukyatul hilal bukan sekadar ritual tahunan, tetapi bagian dari dedikasi terhadap ilmu falak dan pelayanan umat.
Menurutnya, meskipun hilal diperkirakan berada di bawah ufuk, proses rukyat tetap dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap metode yang dianut sebagian masyarakat serta sebagai bagian dari pengembangan ilmu pengetahuan.
“Kita ingin data yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan jika hilal tidak terlihat, tetap harus ada laporan lengkap yang dikumpulkan dan dilaporkan ke pusat,” tegasnya.
Selain itu, Kemenag meminta seluruh Kantor Wilayah untuk menyiapkan peralatan pemantauan dan mendokumentasikan proses rukyat secara lengkap. Abu juga menekankan pentingnya komunikasi yang baik kepada masyarakat agar tidak menimbulkan kebingungan.
“Jangan sampai masyarakat bertanya-tanya, kenapa rukyat tetap dilakukan jika hilal di bawah ufuk? Ini adalah bagian dari verifikasi ilmiah sekaligus wujud kepatuhan terhadap sunnah Rasulullah SAW,” imbuhnya. (*)
Dapatkan berita terbaru PRANALA.co di Google News dan bergabung di grup Whatsapp kami
Discussion about this post