Saatnya ada yang bikin lagu dengan lirik seperti ini: “Baju baru alhamdulillah, tuk dipakai di hari raya. Tak perlu pun ku harus punya, meski dapat hampers corona.”
JELANG Lebaran akhir pekan ini, berbagai pasar dan pusat perbelanjaan di pelbagai daerah, termasuk Kota Bontang, Kalimantan Timur terpantau ramai-ramai saja oleh calon pembeli yang ingin merayakan Lebaran selayaknya Lebaran: menggunakan berbagai hal yang serba baru. Corona nol, kapitalisme satu.
Beberapa hari yang lalu, muncul video di kawasan Pasar Anyar, Kota Bogor, yang merekam keramaian pasar. Terlihat antrean motor yang menimbulkan kemacetan di sepanjang jalan pasar. Dijamin bikin merinding. Masyarakat tampak mantap mengambil pendekatan gabungan antara kekebalan imunitas dan kepercayaan hidup-mati di tangan Tuhan.
Wartawan Detik yang meliput momen tersebut bertanya kepada aparat setempat, namun mereka hanya bisa pasrah dan geleng-geleng kepala. “Tadi saya tanya, sama corona mereka takut? Mereka takut loh sama corona. Saya tanya [seorang] ibu [apakah] takut sama corona. ‘Takut sih, Pak,’ katanya, ‘Tapi kan gimana lagi, anak saya kan belum beli baju Lebaran’,” ujar Kepala Satpol PP Kota Bogor Agustiansyah.
Dari percakapan dua insan ini, terlihat prioritas seorang ibu yang rela mengabaikan protokol kesehatan demi kebahagiaan sang buah hati. Corona nol, implementasi jargon “sayang anak, sayang anak” satu.
Pindah ke Ciamis, Jawa Barat. kejadian sejenis juga terjadi di Pasar Manis. Di tengah PSBB, hampir semua bagian pasar dipenuhi pengunjung pada Senin (18/5) kemarin. Tidak ada jaga jarak antarpengunjung serta banyak pedagang tidak menggunakan masker.
“Kalau menjelang Lebaran pasti ramai. Kalau sekarang sih tidak begitu ramai dibanding tahun lalu. Mungkin karena ada wabah. Tapi dibanding beberapa hari sebelumya sekarang ramai. Yang datang itu beli baju Lebaran, kebanyakan buat anak,” kata Cicih, salah seorang pedagang, kepada Detik.
Melihat ini, Ketua Tim Penanganan Kasus (PIK) Covid-19 Ciamis Eni Rochaeni bisanya cuma prihatin, persis Ketua Satpol PP di Bogor. “Kondisi ini tentu kami sedih. Memang ini pekerjaan rumah kami. Mungkin banyak warga yang sudah tahu bahaya wabah Covid-19, ada juga yang belum tahu banget. Kami harus lebih gencar melakukan sosialisasi preventif dan promotifnya Supaya warga paham dan sama-sama melakukan pencegahan penyebaran Covid-19,” ujarnya.
Beralih ke daerah lain, keramaian enggak cuma terjadi di pasar tradisional. Tindakan ignoran para masyarakat nekat juga melanda pusat perbelanjaan di Jember dan Ciledug. Kemarin (18/5) dan hari ini (19/5), viral di internet video kepadatan mal Jember Roxy Square (Jawa Timur) dan Mal CBD Ciledug (Banten) karena warga sekitar memutuskan mau berdamai sekaligus berbelanja bersama corona.
https://twitter.com/mbelgedez/status/1262367169716711425?s=20
Bergeser ke Kota Bontang. Menjelang lebaran pusat perbelanjaan terbesar di kota ini, Ramayana mulai dipadati pengunjung. Kendati tak sebanyak seperti tahun sebelumnya, namun peningkatan dinilai cukup signifikan di tengah pandemi Virus Corona atau covid-19 yang melanda hampir 2 bulan belakangan ini.
“Sampai saat ini belum terlalu padat pengunjung. Tahun kemarin 3,000 sampai 4,000 customer,” ujar Store Manager Ramayana Bontang, Irfan menukil Tribun.
Dikatakan Irfan, mereka setiap hari melakukan penyemprotan disinfektan ke area yang ramai disinggahi pengunjung. Troli dan eskalator jadi perhatian utama pihaknya, lantaran paling sering digunakan calon pembeli di Ramayan.
“Kita lakukan penyemprotan setiap tutup toko. Troli dan eskalator yang sering disentuh customer kita bersihkan,” bebernya.
Belakangan diketahui sudah sepekan belakangan ini Ramayana buka dari 10.00 Wita hingga 21.30 Wita. Operasional pusat perbelanjaan terbesar di Bontang ini sedikit lebih lama dari sebelumnya, yang hanya boleh buka hingga 20.00 Wita pada awal pandemi merebak.
Melihat fenomena seperti begini, psikolog Rosdiana Setyaningrum angkat bicara. Dia mengatakan ada pola pendidikan yang salah dalam masyarakat sehingga kelompok tertentu enggak memikirkan akibat perbuatan mereka dalam jangka panjang.
“Jadi orang itu terbiasa mikir yang pendek karena sebelum-sebelumnya kita belum pernah dihadapkan pada konsekuensi yang langsung dan besar. Kalau kita melihat secara psikologi perkembangan kognitif orang, memang enggak semua orang itu bisa berpikir sebab-akibat yang jangka panjang kalau cara pendidikannya salah,” kata Rosdiana kepada Detik.
Berhubung baju baru enggak bakal guna kalau enggak dipamerkan, kita harus siap-siap sama pemandangan susulan. Pertama, orang-orang yang ngotot salat Id dan silaturahmi Lebaran ke rumah-rumah. Kedua, munculnya klaster corona bernama “klaster baju baru”. Kalau semua tenaga kesehatan mogok kerja, mungkin baru orang-orang ini pada insyaf. (*)
Discussion about this post