pranala.co – Konotasi “orang hutan” mungkin negatif bagi kebanyakan orang, tetapi tidak dengan Tjilik Riwut (dibaca: Cilik Riwut). Sosok tokoh nasional satu ini justru senang dan bangga mendapuk dirinya sebagai “orang hutan” karena dibesarkan di rimba Kalimantan.
Bukan tanpa alasan Tjilik senang dengan sebutan itu. Darah suku Dayak—penghuni belantara Kalimantan—yang mengalir dalam dirinya menjadi alasannya.
Sebagai putra Dayak, Tjilik ikut berperan dalam kemerdekaan bangsa Indonesia. Dari balik hutan ia lantang bersuara menentang penjajahan Belanda. Dan kembali ke hutan pula ia berupaya mengusir mereka.
Selepas kemerdekaan, Kalimantan Tengah masih mencari-cari ibu kota provinsi yang tepat. Tjilik pun muncul dan berperan besar dalam memilih tempat ibu kota Kalimantan Tengah. Maka dipilihlah sebuah hutan belukar yang kini menjadi kota Palangka Raya dan mempunyai status spesial dalam sejarah bangsa.
“Cilik” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti kecil. Namun, bukan berarti Tjilik satu ini mempunyai sejarah dan kisah yang kecil. Banyak nilai kehidupan yang diperlihatkan Tjilik semasa hidupnya. Namanya besar, terutama sebagai perwakilan masyarakat Dayak yang berjuang untuk Indonesia.
Tjilik Kecil, Lahir dengan Mata Terbuka
Sebagian bayi biasanya tidak bisa langsung membuka matanya ketika lahir. Tekanan saat melewati jalan lahir membuat matanya membesar, bengkak dan sembab hingga tidak dapat membuka matanya. Hanya saja Tjilik kecil adalah bayi yang tidak biasa, ia lahir dengan mata terbuka.
Pada 2 Februari 1918, Tjilik Riwut lahir dari pasangan Riwut Dahiang dan Piai Sulang di Kasongan, Katingan, Kalimantan Tengah. Saat dilahirkan, mata Tjilik terbuka lebar memandang sekitar seolah sedang mengintip dan mengamati situasi. Kondisi ini membuat orang tuanya memberikan gelar “Silik” artinya “mengintip”. Tak pelak ketika balita ia kerap dipanggil Silik sebagai sapaan akrabnya.
Semasa kecilnya, Tjilik cerdik, banyak akal. Pernah suatu ketika bermain sepak bola, Tjilik kalah saing karena postur tubuhnya kalah saing dengan teman-temannya yang usianya jauh lebih tua. Tak mau kalah, ia pasangkanlah kayu di kakinya. Agar tidak terlihat, Tjilik menggunakan celana panjang. Alhasil, lawan-lawannya mengaduh kesakitan ketika menabrak kakinya.
Tjilik kecil bersekolah di Sekolah Rakyat Vervolu School Zending di Kasongan, dititipkan di rumah keluarga pendeta asal Eropa (kemungkinan berkebangsaan Belanda, Jerman atau Swiss). Di sekolah tersebut, Tjilik menjadi pembantu sambil bersekolah.
Ketika baru menduduki kelas lima, Tjilik ditugaskan kepala sekolahnya membantu mengajar ke kampung Luwuk Kanan di hilir Kasongan. Perjalanan ke sana tidak lewat sejalan setapak, melainkan menggunakan perahu. Sendirian Tjilik mengayuh perahu menuju sekolah tempat ia mengajar. Kegiatan mengajar ia lakukan seminggu sekali tanpa keluhan.
Menginjak usia remaja, tanah Jawa menjadi tempat perantauan Tjilik demi menuntut ilmu. Pada 1940, ia sempat kembali ke tanah kelahirannya dan melakukan orasi perjuangan di gereja tempatnya bekerja sebagai pembantu. Sehabis itu, ia kembali ke Jawa melanjutkan perantauannya.
Jadi Perawat dan Jurnalis
Tjilik Riwut dikenal sebagai tokoh militer, tetapi sebelum itu ia pernah melakoni profesi bermacam-macam. Di Jawa, ia pernah mengikuti kursus perawat di Rumah Sakit Bayu Asih, Purwakarta, dan Rumah Sakit Immanuel, Bandung.
Anak perantauan yang mempunyai ekonomi terbatas biasanya banyak akal. Demi bisa membaca koran gratis, Tjilik gemar melobi temannya yang bekerja sebagai loper koran dengan bersedia menggantikan pekerjaannya. Tjilik cukup membaca gratis, uang hasil menjual koran tetap disetor seluruhnya untuk sang teman.
Sambil menyelam, minum air. Rutinintasnya membaca koran gratis membuatnya bisa belajar menulis artikel. Sekitar 1940-1941, Tjilik pun bekerja sebagai pemimpin redaksi majalah bulanan Soeara Pakat yang bergairah menyuarakan semangat dan cita-cita kebangsaan yang menjadi dasar perjuangan Pakat Dayak. Selain itu, ia juga menyuarakan masalah kesehatan dalam masyarakat Dayak dan mengkritik orang-orang Belanda yang menganggap orang Dayak tidak beradab.
Tjilik tidak sendirian dalam berprofesi sebagai jurnalis. Ia bersama Sanusi Pane di harian Pembangunan dan pernah bergabung bersama para wartawan generasi muda Suku Dayak terkemuka, yaitu; Mahir Mahar, C. Luran, Christian Nyunting, dan H. Nyangkal, serta pelopor dan perintis pers di Kalimantan Tengah, Hausmann Baboe.
Kepiawaiannya merangkai kata di media cetak coba disalurkannya ketika membuat buku. Total ada enam buku yang hasil tangan Tjilik, yakni Makanan Dayak (1948), Sejarah Kalimantan (1952), Kalimantan Memanggil (1958), Memperkenalkan Kalimantan Tengah dan Pembangunan Kota Palangka Raya (1962), Manaser Panatau Tatu Hiang (1965) dan Kalimantan Membangun (1979).
“Ara Marop,” Moto Tjilik Riwut Menggaet Pujaan Hati
Hati Tjilik yang berpangkat mayor tengah berbunga-bunga ketika dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta, pada 1947. Ia kepincut perawat bernama Clementine Suparti yang biasa dipanggil Pong.
Pong risih pada Tjilik. Pasalnya Tjilik gemar melontarkan rayuan gombal lengkap dengan pantun dan puisi yang menjadi jurus andalannya. Ia pun memilih keluar dari pekerjaannya dan sejenak menganggur di rumah orang tua.
Pong lantas mendapatkan kerjaan baru menjadi perawat ibunda Menteri Pertahanan Indonesia saat itu, Amir Syarifuddin. Tak dinyana, mungkin memang jodoh, keduanya bertemu di kediaman sang menteri. Kala itu Tjilik memang sedang ingin membahas tugas pasukan MN 1001 yang dipimpinnya. Tjilik yang semula dihantui awan mendung menjadi lebih cerah wajahnya dan membuat anak buahnya bertanya-tanya.
Sayangnya, berulang kali Tjilik bolak-balik ke kediaman Syarifuddin, sang pujaan hati masih saja tidak menggubris niatannya. Rupanya Pong sudah mempunyai teman dekat yang juga berpangkat mayor dan juga komandan pasukan.
Ara Marop, kalau kata orang Dayak, yang artinya pantang menyerah. Ya, Tjilik melakukan pendekatan lewat keluarga Pong, dari ayahnya sampai keponakannya. Perlahan tapi pasti, Pong luluh juga dan menerima cinta Tjilik. Karena orang tua Pong beragama Katolik dan sangat religius, Tjilik yang menganut Kaharingan pindah agama dan dibabtis di gereja Katolik Kotabaru, Yogyakarta.
Tjilik akhirnya menuai nazarnya baru akan menikah jika Indonesia merdeka. Pernikahan keduanya digelar pada 31 Mei 1948. Upacara pernikahan di gereja diawasi oleh pasukan MN 1001. Penjagaan ketat dilakukan karena ada isu teman dekat Pong cemburu dan bermaksud melarikannya. Namun, hal itu tak terjadi di mana situasi aman terkendali.
Pemimpin Pasukan Penerjun
Jiwa nasionalis Tjilik Riwut ditegaskan kala bersumpah setia kepada Indonesia bersama enam pemuda Dayak lainnya di hadapan Presiden Sukarno di ibu kota RI saat itu, Yogyakarta, pada 17 Desember 1946. Para pemuda itu menjadi wakil dari 142 Suku Dayak kala itu.
Tjilik sendiri direkrut menjadi militer karena kemampuannya memahami medan Kalimantan. Yang paling diingat darinya ia pernah didapuk menjadi komandan pasukan penerjun payung pertama di Indonesia. Ia memimpin operasi untuk membantu Indonesia yang kala itu ingin menembus blokade Belanda di Kalimantan.
Walaupun tak ikut terjun, Tjilik memegang peran sebagai komandan dalam operasi yang melibatkan 13 orang itu pada 17 Oktober 1947. Tanggal operasi itu pun diperingati sebagai hari Pasukan Khas TNI AU.
Dalam buku Tjilik Riwut Berkisah Aksi Kalimantan dalam Tugas Operasional Militer Pertama Pasukan Payung Angkatan Udara Republik Indonesia yang ditulis Nila Riwut, inisiatif penerjunan pertama disebutkan datang dari gubernur pertama Kalimantan, Mohammad Noor. Usul tersebut disampaikan di Yogyakarta pada Kepala Staf Angkatan Udara Suryadi Suryadarma lantaran wilayah Kalimantan telah diblokade NICA sehingga sulit bagi pejuang di Jawa untuk berhubungan dengan pejuang Indonesia di Kalimantan.
Lalu ditunjuklah Tjilik sebagai komandan pasukan penerjun yang bersandi MN1001 itu. Tjilik merupakan pejuang asal Kalimantan Tengah dan 13 peterjun dalam pasukan itu juga sebagian besar berasal dari Kalimantan. Sebagian lagi dari Pulau Jawa. Mereka adalah Kapten Hari Hadisoemantri (asal Semarang), Letda Iskandar (Sampit), Serma Kosasih (Barito), Kapten FM Soejoto (Ponorogo), Bachri (Barabai), J. Bitak (Kelapa Baru-Kalimantan), C. Willem (Kuala Kapuas), Imanuel Nuhan (Kahayan Hulu), Mika Amirudin (Kahayan Hulu), Ali Akbar (Balikpapan), Letda M Dachlan (Sampit), JH Darius (Kasongan), dan Marawi (Rantau Pulut).
Mengusulkan Letak Ibu Kota Kalimantan Tengah, Palangka Raya
”Bapak, tuntutan masyarakat Kalimantan Tengah telah disetujui dan kami bersama telah menentukan letak ibu kotanya,” kata Tjilik pada Presiden Sukarno. Saat itu, Tjilik mengusulkan membangun kota di tengah hutan. Sukarno lantas keheranan, karena sudah ada beberapa daerah yang menjadi kota dan bisa dikembangkan lebih lanjut.
Hanya saja Tjilik tidak mau kota-kota yang sudah ada itu menjadi ibu kota Kalimantan Tengah. Alam merdeka baginya adalah jauh dari warisan pemerintahan kolonialisme Belanda.
”Begini pak, agar Kalimantan Tengah benar-benar murni dibangun atas hasil karya anak bangsa di Alam Merdeka. Bukan peningalan Belanda. Murni dibangun dari hutan belukar dan kami mohon Bapak sendiri yang akan meresmikan. Bukan main, Pak, nama Bapak akan dikenang sepanjang masa untuk peristiwa ini,” rayu Tjilik yang akhirnya idenya itu diloloskan Sukarno.
Impian Tjilik jadi kenyataan. Peletakan tiang pertama pembangunan kota Palangka Raya dilakukan oleh Sukarno pada 17 Juli 1957. Tempat peletakan tiang pertamanya kini dikenang sebagai Tugu Sukarno. Palangka Raya pun menjadi kota yang istimewa karena menjadi ibu kota pertama yang murni hasil karya anak bangsa di alam merdeka, bukan peninggalan Belanda.
Menjadi Gubernur Kalimantan Tengah
Kariernya yang cemerlang membuat Tjilik Riwut ditunjuk sebagai gubernur provinsi Kalimantan Tengah pada 30 Juni 1958. Adapaun masa jabatannya terhitung dari 1959 sampai 1967.
Tjilik tak hanya dekat dengan kalangan terpandang, tetapi juga masyarakat setempat. Ketika menjabat posisi gubernur, ia rela berhari-hari berjalan kaki menembus hutan untuk bertemu warga dan menginap di perahu. Dia juga kerap bersama masyarakat dan pekerja dalam menebang pohon, angkat batu, hingga beristirahat.
Pada 1987, Tjilik dirawat di Rumah Sakit Suaka Insan, Banjarmasin. Keluhannya saat itu adanya gangguan lever dan diabetes. Dokter menyarankan ia mesti dirawat di Jakarta. Namun, Tjilik menolak anjuran itu karena memilih meninggal di Kalimantan.
Pada hari Senin, 17 Agustus 1987, yang bertepatan dengan peringatan Hari Jadi Kemerdekaan Indonesia, Tjilik Riwut meninggal dalam usia 69 Tahun. Jasadnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Sanaman Lampang, Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Namanya kini diabadikan untuk salah satu bandar udara dan jalan utama di Palangka Raya.
—
Referensi: TNI-AU.mil.id | Nila Riwut, “Sanaman Lampang Besi Mengambang: Kisah Sekitar Kehidupan Tjilik Riwut” | Adityawarman, “Bapak Angkatan Udara Suryadi Suryadarma” | Nila Riwut, “Tjilik Riwut Berkisah Aksi Kalimantan dalam Tugas Operasional Militer Pertama Pasukan Payung Angkatan Udara Republik Indonesia” | Depdikbud, “Sejarah Sosial Palangka Raya”
Discussion about this post