PADA dasarnya, jurnalisme bertujuan mencari kebenaran. Dan kebenaran itu ada pada fakta mengenai peristiwa dan pendapat. Jurnalisme harus mengungkapkan fakta sebagaimana adanya. Fakta dianggap ‘suci’. Karena itu, dalam penyajian, fakta harus dipisahkan dari pendapat atau opini wartawan yang menulis berita agar tidak membingungkan pembaca.
Agar berita yang disajikan mendekati kebenaran dan tidak merugikan salah satu pihak yang terkait dengan peristiwa, maka berita harus cover both sides bahkan cover multi sides sesuai kompleksitas masalah agar persoalan yang terjadi bisa tergambar dengan baik.
Sejarah pers mulai berubah ketika pers berkembang menjadi sebuah industri. Agar sebuah industri pers bertahan hidup dan berkembang maju, idealisme saja tak cukup. Pers harus memperkuat sisi komersial. Aspek komersial ini kemudian menjadi sedemikian dominan ketika jumlah penerbitan pers kian banyak.
Pers yang hendak survive harus mempertimbangkan kekuatan bisnis, yakni para pemasang iklan. Kenyataan menunjukkan, sedikit atau banyak, kekuatan bisnis — nasional maupun multinasional — mempengaruhi pemberitaan.
Pada periode tertentu dalam sejarah pers, sebagian pemberitaan pers dirasakan tak mendalam dan lengkap. Pers hanya memungut berita pada permukaan. Perkembangan yang memprihatinkan ini melahirkan investigative reporting. Pers berupaya mengungkapkan kebenaran masalah yang sedalam-dalamnya dan selengkap-lengkapnya lewat aktivitas investigasi. Tujuan berita investigatif ialah untuk mengungkapkan kebenaran hakiki. Contoh klasik berita investigasi ialah Kasus Watergate.
Berita-berita investigatif sangat digemari masyarakat. Wartawan yang menyuguhkan berita investigatif pun mendapatkan kebanggaan tersendiri. Akan tetapi, meski digemari, membanggakan, dan menaikkan oplah (media cetak), berita investigatif bisa merugikan pihak yang diinvestigasi, termasuk kekuatan bisnis yang menjadi pendukung advertensi.
Di samping berita investigasi, ada pula jenis berita yang sekadar mencari sensasi demi menaikkan oplah. Dalam mencari berita digunakan pendekatan negatif (negative approach). Lebih parah lagi, pendekatan negatif ini ditambah lagi oleh berita yang tak berimbang dan tak lengkap.
Dalam pada itu, masalah yang dihadapi masyarakat semakin kompleks dan beragam. Masyarakat tak lagi mampu memahami masalah dengan hanya membaca berita tentang fakta. Adalah benar bahwa fakta adalah suci. Tapi, fakta saja tak cukup. Perlu ada penjelasan yang lengkap dan mendalam tentang hubungan antarperistiwa.
Masyarakat pembaca membutuhkan penjelasan tentang makna dari peristiwa dan arah penyelesaian dari masalah yang diberitakan. Betapa pun penting, jurnalisme makna bisa membuat pers terjebak pada berita yang sarat dengan opini. Tanpa ada kejernihan dan objektivitas, jurnalisme makna dapat membuat pers terjebak pada berita yang menguntungkan kepentingan tertentu seraya merugikan kepentingan lain.
Lantas, bagaimana dengan jurnalisme positif? Jurnalisme positif lahir dari keprihatinan terhadap pemberitaan dengan negative approach, pemberitaan yang memojokkan pihak tertentu, tidak memberikan gambaran utuh, tidak menyajikan sisi yang memberikan harapan dan solusi untuk mencapai penghidupan yang lebih baik, dan sebagainya.
Jurnalisme positif merupakan reaksi terhadap jurnalisme negatif. Ada semacam ke Ada semacam keyakinan pada para wartawan dan editor bahwa negative approach mampu menghasilkan berita yang disukai publik pembacanya. Maka masyarakat akhirnya disuguhi berbagai berita yang digarap lewat negative approach. Semua berita yang disajikan menyeramkan dan seakan-akan masa depan tidak lagi memberikan harapan.
Seperti kata Michael Gerber dalam The E Myth, “Peperangan, kelaparan, kriminalitas, kejahatan, inflasi, resesi, shifting dari berbagai bentuk interaksi sosial tradisional, ancaman nuklir, HIV, bencana dalam berbagai bentuknya yang menyeramkan, berkomunikasi secara instan dan berkesinambungan setiap saat kepada publik.”
Jurnalisme yang lebih tertarik pada hal-hal negatif, penyajian berita negatif secara vulgar dan terus-menerus, membentuk opini masyarakat seakan-akan kehancuran umat manusia sudah di depan mata. Jurnalisme negatif membutakan mata publik pembaca untuk melihat realitas hidup yang sesungguhnya penuh warna. Jurnalisme negatif membuat masyarakat apatis, tertekan dan menatap masa depan tanpa harapan.
Jurnalisme positif bukanlah jurnalisme yang hanya menyajikan berita yang bagus-bagus saja. Mengacu pada objektivitas, jurnalisme positif mengedepankan berita apa adanya sembari memberikan alternatif pemecahan agar pembaca bisa menatap masa depan dengan optimistis.
Sesuatu yang buruk disampaikan sebagai yang buruk. Tapi, sesuatu yang baik harus pula disampaikan sebagai yang baik. Lebih dari itu, sesuatu yang buruk dilengkapi dengan opini dari para narasumber bahwa yang buruk bisa diubah menjadi baik.
Jurnalisme positif tak menutup mata (cover up) terhadap peristiwa tentang bencana alam, bencana kelaparan, musibah tabrakan mobil dan kereta api, jatuhnya pesawat terbang, kemiskinan, peperangan, dan sebagainya. Tapi, semua tragedi dan peristiwa nahas itu disampaikan secara komprehensif, dari berbagai sisi (multi sides), berbagai sudut (multi angles) dengan memberikan penghargaan tertinggi pada manusia dan kemanusiaan.
Aktivitas jurnalisme positif menggunakan positive approach. Setiap peristiwa, seburuk apa pun, tentu ada aspek positifnya. Dan aspek positif itulah yang perlu ditonjolkan agar peristiwa buruk tetap memberikan harapan kepada publik pembaca.
Dengan pendekatan positif, berita yang disajikan jurnalisme positif tak bersifat menghakimi, melecehkan, atau menyudutkan pihak tertentu. Penggunaan kata-kata yang bersifat menghakimi, melecehkan, menyudutkan, memfitnah dsb sangat dicegah. **
Ditulis oleh Suriadi Said
Pemimpin Redaksi Pranala.co
Discussion about this post