Ditulis Oleh: ABDUL RAHMAN, Alumni Department of International and Strategic Studies University Malaya
SIKAP imigrasi Singapura mendeportasi Ustad Abdul Somad (UAS) ketika berkunjung ke sana menghina umat Islam Indonesia. UAS adalah ulama yang disegani dan banyak pengikutnya.
Dalam setiap ceramahnya, UAS memang agak keras dan itu terkait karakternya sebagai orang Sumatra Utara. Setahu saya, UAS tidak pernah membahas apalagi mengkritik Singapura dalam ceramahnya.
Menurut saya pendeportasian UAS wujud ketakutan yang mengada-ada. Pencekalan terhadap UAS membuat saya teringat kejadian di tahun 2008. Saya sempat ditahan ketika masuk ke Singapura. Bedanya saya bukan tokoh atau orang terkenal, jadi wajah saya tidak ditandai mereka selain yang tertera di dalam paspor.
Sebelumnya, tahun 2002, saya pernah tidak diperbolehkan lagi masuk Singapura karena membawa foto kopi tentang pertahanan menyeluruh (total defence) Singapura. Data yang saya bawa berasal dari perpustakaan The Institute of Defence and Strategic Studies (IDSS) di bawah Nanyang Technological University (NTU). Sekarang berganti nama menjadi RSIS.
Akan tetapi Singapura melalui imigrasi sangat curiga terhadap data yang saya bawa. Akhirnya paspor saya dicap ended (berakhir). Saya tidak diperbolehkan lagi masuk Singapura sampai masa berlaku paspor habis.
Waktu itu saya direkomendasikan oleh Dr KS Balakrishnan, di universitas tempat saya belajar. Kalau mau mencari data lengkap ke Singapura. Atas sarannya saya pergi ke Singapura dan membawa surat rekomendasi dari perpustakaan universitas tempat saya belajar. Kebetulan, ada seorang teman menjadi Research Fellow di IDSS. Melalui dia saya masuk ke perpustakaan.
Dalam mencari data, saya masuk ke Singapura pagi dan balik ke Johor Bahru sore. Setelah tiga hari masuk ke Singapura, saya tidak diperbolehkan lagi ke sana. Pada waktu itu saya berstatus pemegang Visa Multiple Entry Malaysia.
Mengkritisi Singapura
Indonesia sempat bersitegang dengan Singapura mengenai pengembalian uang koruptor yang diparkir di negara Singa tersebut. Singapura berdalih uang yang parkir dari negara luar tidak bisa ditarik tanpa ada perjanjian sebelumnya.
Pada akhirnya Singapura mau mengembalikan tapi dengan satu syarat. Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus menyiapkan tempat latihan bagi tentara Singapura. Lokasi sudah ditentukan, yaitu di Kayu Ara Sumatra Selatan. Bermodalkan kesepakatan Military Training Area, Singapura terus mendesak Indonesia.
Pemerintah Indonesia dan Singapura melalui Menteri Pertahanan kedua negara akhirnya menandatangani kesepakatan Defence Cooperation Agreement. Kesepakatan tersebut terkesan sumir karena tidak melibatkan banyak pihak termasuk DPR.
Terkait dengan DCA, saya pun menulis tentang kejanggalan ini. Tanggal 25/8/2007, artikel opini yang saya tulis dimuat di Harian Republika. Judul tulisannya “Singapura sedang Membangun Kekuatan”.
Tulisan ini secara jelas menyerang Singapura karena selalu mengambil “manfaat” ketika Indonesia memerlukan bantuan khusus dari Singapura.
Pada tahun 2008, saya terbang ke Singapura menggunakan pesawat Qatar Airways. Sampai di Changi Airport, saya ditahan imigrasi dan tidak boleh masuk. Adapun tujuan saya ke Singapura mau menuju ke Johor Bahru Malaysia dan airport terdekat adalah Singapura. Berjam-jam saya ditahan tanpa kejelasan dari pihak imigrasi Singapura.
Dalam hati, saya menyadari bahwa tulisan di Harian Republika menjadi sebab mengapa saya ditahan. Saya diinterogasi imigrasi dan intel dengan pertanyaan menjebak dan pihak Singapura tidak punya informasi yang lengkap tentang saya.
Trik yang saya lakukan agar lolos dari petugas imigrasi bahwa nama saya jumlahnya ribuan di Indonesia. Bagaimana Anda yakin bahwa Abdul Rahman yang dimaksud adalah saya. Jabatan saya sebagai Direktur Biro Perjalanan sambil memperlihatkan kartu nama.
Tuduhan bahwa saya pernah masuk Thailand tidak pernah saya akui. Karena di Thailand saya tidak ada agenda politik. Apalagi sampai melakukan agitasi atau gerakan lainnya seperti makar. Ke Thailand urusan riset dengan beberapa teman Indonesia. Semua pembiayaan ditanggung Toyota Foundation.
Arogansi Singapura
Singapura sangat membutuhkan hubungan baik dengan Indonesia tapi terkesan seperti tidak butuh. Saya sering bartanya, mengapa sikap Singapura terlalu reaktif terhadap Indonesia. Padahal Singapura sangat bergantung dengan Indonesia. Andai Indonesia menutup hubungan diplomatik dengan Singapura, dapat dipastikan ekonomi Singapura lumpuh total.
Ruang udara Indonesia tidak bisa digunakan Singapura. Artinya lapangan terbang Changi menjadi airport mati. Begitu juga Selat Phillip yang berbatasan dengan Indonesia tidak bisa dilalui kapal-kapal Singapura.
Selain itu, keberhasilan NUS dan NTU menjadi perguruan tinggi terbaik di Asia tidak lepas dari banyaknya mahasiswa Indonesia belajar di sana. Begitu juga rumah sakit seperti Mount Elizabeth kebanyakan pasien berasal dari Indonesia.
Banyak orang Indonesia berkunjung ke Singapura secara tidak langsung turut membantu kemajuan ekonomi Singapura. Hampir semua penduduk Singapura familiar dengan nama Indonesia. Sayangnya, sikap Singapura tidak diikuti rasa terima kasih. Bahkan mantan Presiden BJ Habibie pernah menyebut Singapura bukanlah tetangga baik.
Apa jadinya Singapura kalau Indonesia berani melakukan penutupan hubungan diplomatik? Bisa jadi Perdana Menteri Singapura tiap hari datang ke Indonesia mengemis untuk normalisasi hubungan.
Kiranya inilah pertaruhan suatu negara kalau ada rakyatnya dilecehkan oleh negara lain. Negara seperti Indonesia seharusnya berani melakukan tindakan nyata, yaitu membela rakyatnya. Sebaliknya, kita akan dimanfaatkan negara lain kalau kita lemah dalam bertindak.
Membela rakyat Indonesia di luar negeri harus menjadi bagian dari kepentingan nasional karena di dalamnya terkait harkat dan martabat bangsa Indonesia. UAS layak dibantu dan diperjuangkan haknya karena beliau adalah aset Indonesia di bidang pendidikan agama Islam. Dan Singapura harus menghargai itu.
[RED]
Discussion about this post