GE-ER atau GR itu penyingkatan ‘gede rasa’. Padanannya dalam Bahasa Banjar, kira-kira, ‘pina musti’ – ‘peiya-iyanya’. Dalam Bahasa Jawa mungkin setara ‘hiya-hiya-o’. Suatu kondisi perasaan yang terbangun atas dasar asumsi, persangkaan atau anggapan thok. Rada dekat dengan takabbur. Seakan-akan iya, padahal belum tentu.
Melalui tugas puasa dan anjuran ibadah sunnah sepanjang Ramadhan, seperti terfirman dalam Surah Albaqarah (QS:2) ayat 183 sampai 189, Allah SWT menyatakan harapan, agar para penunainya dari kalangan beriman kelak bertaqwa (183 & 187), berilmu (184), bersyukur (185), tercerahkan di jalan lurus (186), dan beruntung (189).
Apakah sesiapa yang beribadah Ramadhan pasti beriman, dan pasti bertaqwa, berilmu, bersyukur, tercerahkan/konsisten, dan beruntung? Entar dulu. Audit dulu.
Bukalah Albaqarah di ayat-ayat itu. Perhatikan teks-teks ‘la’allakum tattaquun’ (183), ‘in-kuntum ta’lamuun’ (184), ‘la’allakum tasykuruun’ (185), ‘la’allahum yarsyuduun’ (186), ‘la’allahum yattaquun’ (187), dan ‘la’allakum tasykuruun’. ‘La’alla’ adalah ungkapan harapan (raja’, tarajji’) – semoga, mudah-mudahan (dengan Ramadhan engkau jadi) bertaqwa, berilmu, bersyukur, tercerahkan/konsisten, dan beruntung.
Secara etimologis (Arab) teks-teks ini tergolong fi’il mudhari’ – gramatika Inggris menyebutnya present dan future tense. Kata-kata kerja berkenaan dengan kurun kini dan nanti. Artinya, segenap ibadah sepanjang Ramadhan diharuskan Allah berwawasan atau berorientasi sekarang dan masa datang.
Implementasi taqwa, misalnya, berlaku saat mengawali, menyertai, mengakhiri, dan berlanjut pasca Ramadhan. Begitu pun dengan kesadaran-kesadaran akan ilmu, syukur, ketercerahan/konsistensi, yang dengan itu semua semoga terbukalah jalan bagi keberuntungan.
Sebagian ahli menafsir ‘la’allakum tattaquun’ itu ‘mudah-mudahan kalian semua dapat menjaga diri dari segala bentuk kemaksiatan’. Ada pula yang memadankan ‘tattaquun’ dengan ‘golongan yang berhati-hati’. Dus, menjadi anti maksiat atau berhati-hati selama dan setelah seluruh rangkaian ‘formal’ ibadah Ramadhan berlalu.
Semua teks yang menyertai ‘la’allakum’ adalah kata kerja yang dapat dicapai dan wujudkan nyata. Allah, agaknya, ‘hanya’ mempersyaratkan satu kondisi: Ialah bila engkau berada dalam barisan orang-orang beriman.
Mereka, orang-orang beriman itu, bisa menjauhi kemaksiatan atau berhati-hati. Bisa berilmu, menjadi lebih pandai dan cerdas. Bisa bersyukur – mengoptimalkan pemanfaatan segenap rezeki dan karunia lewat cara-cara yang dibenarkan agama. Bisa konsisten, sekata-sekelakuan, dan akhirnya pun bisa memperoleh keberuntungan dalam batasan definisi yang Allah gariskan – ialah keberuntungan seimbang, dunia-akhirat.
Karena itu, ya, Ramadhan memang bulan latihan, dengan konsep dan materi yang Allah tentukan. Dari berpuasa, qiyamul-lail (tarawih, tahajjud), tadarus-tadabbur Quran, infaq, shadaqah, sampai zakat, ibadah-ibadah sunnah lain, dan seterusnya.
Bila pesilat berlatih untuk menjadi makin tangkas dan perkasa, para atlet berlatih agar kian terampil dan berprestasi, begitulah pulalah latihan-latihan dalam Ramadhan. Yakni agar efek keseluruhan rangkaiannya mengejawantah dalam perilaku batin dan badani tiap pesertanya kini dan nanti.
Ibadah adalah sebuah proses terus-menerus, sambung-menyambung. Bukan terminal terakhir, melainkan ‘jalan’ bertujuan. Ibadah adalah kumpulan ikhtiar menuju pematangan lahir dan batin.
Tindak lanjut sajadah pendek yang digelar di tiap momen shalat, misalnya, adalah sajadah panjang yang terhampar pada momen-momen di luar shalat. Momen-momen yang juga berlangsung dalam sepenuh-penuh penghayatan penghambaan kepada-Nya. Shalat dan luar shalat bukanlah dua momen terpisah.
Ibadah-ibadah dalam Ramadhan pun begitu. Bagai anak tangga pendakian mukmin sepanjang hayat, capaian-capaian pada penunaiannya tahun ke tahun sepatutnya merupakan gerak yang senantiasa naik, naik dan naik secara kualitatif – bukan kuantitatif semata.
Dengan demikian, semakin dekat pada Sang Khaliq, semakin besar pula peluang aplikasi sifat-sifat ilahiyah, yang potensinya ada pada tiap mukmin, dalam pergaulan dengan sesama makhluk.
Sungguh hanya peningkatan mutu pengabdian kepada Allah (‘ta’abbud’) yang terimpelentasi pada pola kelakuan dan keberadaban (‘takhalluq’) yang akan mengantar tiap mukmin pada cara beragama progresif – ber-Islam secara berkemajuan.
Saya menyebut cara beragama seperti ini ‘nir ge-er’. Jauh dari anggapan bahwa hal-ihwal sepanjang Ramadhan semata perkara menahan lapar dan dahaga, yang tak perlu berbekas pada perilaku, atau malah berlanjut dengan penyelenggaraan balas dendam syahwati, bila ‘masa berlaku’-nya habis nanti.
Benar, adalah sepenuhnya otoritas Allah menilai tertolak dan terterimanya ibadah seorang hamba. Namun tidakkah kisi-kisi batasan penerimaan dan penolakan itu juga terbeber dalam firman-firman-Nya di Albaqarah 183 sampai 189 barusan? Wallaahua’lam. ***
Catatan,
1. Diolah dan sarikan dari khutbah Jumat Prof Dr KH Din Syamsuddin MA di Masjid Ad Da’wah, Kompleks Muhammadiyah Kaltim Center, Samarinda, 9 April 2021. Idiom ‘ge-er’ dari saya.
2. Mohon tak menyangka saya berada di luar golongan yang potensial beragama secara ‘ge-er’. Mohon juga koreksi kekeliruan yang mungkin terdapat pada tulisan ini.
Ditulis oleh: Syafril Teha Noer
Wartawan Senior Kaltim & Budayawan
Discussion about this post