TAK hanya laki-laki, ada banyak ulama perempuan yang berkontribusi terhadap peradaban Islam. Pengasuh Pesantren Darut Tauhid Cirebon sekaligus anggota Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), KH Husein Muhammad, mengatakan, Islam hadir untuk mewujudkan cita-cita kemanusiaan, yakni membebaskan penindasan, diskriminasi, subordinasi, dan kebodohan menuju perwujudan yang setara.
Sejak zaman Nabi Muhammad, sudah ada perjuangan untuk mengubah rekonstruksi kultural sistem penindasan patriakisme. Sang istri, Khadijah, selalu mendukung dan menemani dia. Setelah era Nabi, lahirlah banyak ulama dan cendekiawan perempuan.
“Ada banyak sekali para perempuan yang menjadi ulama. Mereka memainkan peran yang beragam,” kata KH Husein dalam gelar wicara Ulama Perempuan dalam Perjalanan Sejarah Hingga Kini di kanal Youtube Swararahima dotcom.
Dia menyebut, Direktur Pusat Studi Islam dan Gender di Maroko, Dr Asma al-Murabit, pernah mengatakan, “Kuliah keilmuan Islam diikuti oleh mahasiswa laki-laki dan perempuan. Kami tidak menemukan dalam generasi Islam awal, para cendekia yang tidak belajar kepada perempuan, kecuali beberapa saja. Pendidikan diberikan untuk laki-laki dan perempuan secara sama, dan tidak ada pemisah (segregasi) ruang antara laki-laki dan perempuan. Pada masa ini, jarang sekali seorang ulama laki-laki yang tidak belajar kepada perempuan ulama.”
KH Husein menjelaskan, ada beberapa ulama yang berperan penting dalam perkembangan Islam. Pada generasi awal, Sayyidah Sukinah yang merupakan putri Imam Husein bin ali, cucu Imam Ali bin Abi Thalib, membuat perjanjian pranikah yang harus ditandatangani oleh suaminya.
Isi perjanjian itu adalah tidak boleh mengambil perempuan lain sepanjang hidup bersama, tidak boleh ada rahasia dalam hal keuangan, dan tidak boleh melarang aktivitas di luar jika dirinya menghendaki itu.
“Pendiri mazhab Syafi’i, Imam asy-Syaifi’i, bahkan belajar dari ulama perempuan, yakni Sayyidah Nafisah. Setiap sore, dia berdiskusi dengan Sayyidah Nafisah,” ujar dia.
Selain Sayyidah Nafisah, ada pula Zubaidah binti Abu Ja’far al-Manshur. Dia adalah seorang putri Khalifah Abu Ja’far al-Manshur, khalifah kedua Dinasti Abbasiyah. Zubaidah adalah tokoh di balik pusat peradaban Islam saat itu. Selain menghafal Alquran, dia juga menyukai seni dan sastra.
“Ulama atau cendekiawan perempuan dalam berbagai macam perkembangan pengetahuan hanya ada dalam tiga abad. Memang kejayaan Islam ada pada tiga abad pertama karena intelektualisme saat itu berkembang. Setelah itu terjadi ruang perdebatan di banyak tempat antara laki-laki dan perempuan,” ucap dia.
Di sisi lain, keruntuhan satu per satu kerajaan Islam dari dua sisi, yakni perang salib dan serangan Mongol yang akhirnya menghancurkan seluruh peradaban Islam. Menurut dia, kemungkinan dari faktor tersebut membuat perempuan kembali dirumahkan.
Sarjana Suriah, Dr. Muhammad al-Habasy dalam bukunya berjudul al-Mar’ah baina asy-Syari’ah wa al-Hayah menjelaskan peminggiran kaum perempuan didasarkan pada argumen “sadd adz-dzari’ah” atau menutup pintu kerusakan
Keterlibatan perempuan dalam dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan dan aktivitas mereka di ruang publik dipandang bisa atau berpotensi menimbulkan “fitnah” dan “inhiraf” atau penyimpangan moral.
“Pandangan ini muncul menyusul kehancuran Islam akibat serbuan tentara Mongol pada 1256. Dan, sebelumnya serbuan tentara salib. Kehancuran ini diikuti kehancuran di Andalusia. Sekitar abad ke-13 sampai abad ke-19 stagnan ulama perempuan tidak muncul,” kata dia.
Baru muncul lagi tokoh bernama Rifa’ah Rafi ath-Thahthawi (1801-1873 M) yang dipandang sebagai orang pertama atau pelopor yang membawa pembaruan pemikiran Islam. Dia juga berani mengkritik pandangan-pandangan konservatif yang merendahkan perempuan.
Ath-Thahthawi menuliskan gagasan dan kritiknya dalam buku berjudul Takhlish al-Ibriz fi Talkish Paris dan al-Mursyid al-Amin li al-Banat wa al-Banin. Selain itu, ada pula tokoh Qasim Amin yang paling menonjol dalam isu perempuan. Dia menulis buku berjudul Tahrir al-Mar’ah (Pembebasan Perempuan). Setelah itu, banyak bermunculan tokoh perempuan termasuk di Indonesia. Dari situ, muncul tokoh-tokoh baru yang ikut memperjuangkan hak perempuan sampai saat ini.
“Di Indonesia ada Rahmah el-Yunusiah, ulama perempuan di Padang Panjang, Sumatra Barat. Bahkan, Rahmah mendapat gelar kehormatan “syekhah” dari Universitas al-Azhar. Sementara itu, di Jombang, Jawa Timur, ada putri dari KH Hasyim Asy’ari bernama Nyai Khairiyah Hasyim Asy’ari. Di Aceh juga ada ulama perempuan terkenal bernama Teungku Fakinah atau Teungku Faki,” kata dia.
[RED]
Discussion about this post