Bontang, PRANALA.CO — Seharusnya ini hanya upacara biasa. Upacara bendera dalam rangka Hari Pendidikan Nasional alias Hardiknas 2025. Seperti yang sudah-sudah. Orang-orang berdiri tegak, lagu kebangsaan berkumandang, sambutan pejabat dibacakan, lalu selesai.
Namun Jumat (2/5/2025) pagi itu, halaman Kantor Wali Kota Bontang berubah menjadi panggung kegembiraan yang tak terduga.
Semuanya dimulai ketika rombongan guru SDN 011 Bontang Selatan maju ke tengah lapangan. Di tangan mereka, angklung-angklung dari bambu itu sudah siap. Yang memimpin mereka bukan konduktor profesional.
Bukan juga musisi kondang. Tapi kepala sekolah mereka sendiri, Koriyatin. Ibu kepala sekolah itu berdiri di depan dengan senyum lebar, tangannya siap mengayun memandu irama.
Alunan pertama yang keluar masih formal—lagu-lagu perjuangan. Himne Guru, misalnya. Suaranya lembut tapi menyentuh, membuat banyak orang menunduk, mengingat guru-guru mereka dulu. Suasana masih khidmat.
Namun beberapa menit kemudian, suasana itu pecah. Angklung yang semula mendayu mulai mengalunkan nada riang. “Manuk Dadali” menggema. Disusul “Rungkad” yang jauh lebih ceria. Tiba-tiba, kaki-kaki yang tadi diam tegak mulai bergoyang. Tangan-tangan yang tadi di samping badan mulai ikut bergerak.
Dan yang paling bersemangat: Wali Kota Bontang, Neni Moerniaeni. Dia tak ragu ikut berjoget di tengah barisan, membuat suasana semakin meriah. Guru-guru lain tak mau kalah. Ada yang tersenyum malu-malu, ada pula yang langsung ikut menggerakkan badan. Keceriaan itu menular. Bahkan petugas upacara pun tampak ikut menggoyang bahu pelan-pelan.
Yang menarik, ini bukan sekadar penampilan angklung biasa. Di balik harmoni bambu itu, terselip irama dari alat musik tradisional lainnya. Gambang, dhendhem, tripok, dug dong, bahkan cajon modern. Perpaduan alat musik tua dan baru. Tradisi dan inovasi. Semua melebur jadi satu.
Sosok di balik kekompakan ini adalah Joko Purwoko, atau yang lebih dikenal dengan Pakde Joko. Alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta ini sudah lama jadi guru musik tradisional di Bontang.
Dialah yang melatih para guru SDN 011. Dialah yang menyatukan suara-suara itu menjadi harmoni yang tak sekadar indah didengar, tapi juga membangkitkan semangat.
Peringatan Hardiknas di Bontang pagi itu akhirnya bukan cuma soal pendidikan. Tapi juga soal budaya. Soal kolaborasi. Soal kreativitas. Dan, yang lebih penting, soal kebersamaan.
Kadang, pendidikan tak perlu terlalu kaku. Kadang, nasionalisme tak perlu terlalu formal. Cukup sekelompok guru, alat musik bambu, dan semangat yang tulus—itu sudah cukup untuk mengingatkan kita semua: pendidikan yang baik bukan cuma soal angka dan ujian. Tapi juga soal kegembiraan, budaya, dan rasa cinta pada tanah air.
Dan pagi itu, di tengah dentingan angklung yang merdu, semua itu terasa nyata. (*)
Dapatkan berita terbaru PRANALA.co di Google News dan bergabung di grup Whatsapp kami
1 bulan lalu
[…] Gubernur Kalimantan Timur. Dalam pertemuan tersebut, Neni menyodorkan program strategis Pemkot Bontang — menaikkan insentif guru, demi mendorong kesejahteraan yang selama ini kerap menjadi ganjalan […]