KEPALA Kejaksaan Negeri (Kajari) Kabupaten Paser M Syarif mengingatkan akan menindak tegas pelaku penyelewengan penerima bantuan sosial terdampak COVID-19. Peringatan itu dia sampaikan saat pertemuan dengan sekelompok masyarakat di Gedung DPRD Paser, Selasa (5/5/2020).
Pertemuan yang dipimpin Ketua DPRD Paser Hendra Wahyudi itu juga dihadiri Asisten Ekonomi Setda Paser Ina Rosana, Dandim O904/TNG Letkol Czi Widya Widjanarko, Kapolres Paser AKBP Murwoto, Kadis Kesehatan Amir Faisol, Kadis Sosial Chaerul Saleh dan seluruh anggota DPRD Paser.
Diketahui bahwa data penerima bantuan sosial ini dihimpun melalui ketua RT dan Kepala Desa untuk kemudian disampaikan kepada pemerintah daerah melalui Dinas Sosial. “RT dan Desa yang memberikan data tidak jujur, akan ketemu dengan kami,” ujar Syarif.
Sebelumnya kata Syarif, pada Kamis (30/4) lalu Kejaksaan dan Pemkab Paser telah melakukan Memorandum of Understanding (MoU) atau penandatanganan kesepakatan bersama terkait pengawasan penggunaan anggaran refocusing, yang didalamnya termasuk penggunaan bantuan sosial terdampak COVID-19.
Kajari juga mengingatkan agar penerima bantuan, benar-benar orang yang miskin dan membutuhkan. “Jika tidak berhak, namanya dicoret,” ujar Syarif.
Oleh karena itu, Syarif berharap data penerima bantuan juga tetap diawasi termasuk proses penyalurannya. “Tolong diawasi jika ada permainan dalam penyaluran akan ada sanksinya, “ujarnya.
Sementara Kepala Dinas Sosial Haerul Saleh mengatakan dalam melakukan pendataan Pemerintah Daerah bekerja sama dengan Kepala Desa, Lurah, dan RT. Merujuk pada surat edaran, kata Herul telah dijelaskan bahwa penerima bantuan adalah yang terdampak COVID-19 seperti pedagang kaki lima atau buruh
“PNS tidak boleh,” katanya.
Dinsos kata Haerul memastikan hanya menghimpun data yang diterima dari RT dan Desa. Dari data yang diterima Dinsos, terdapat 32.975 Kepala Keluarga yang mengusulkan bantuan. Angka penerima bantuan yang sudah diverifikasi dinas sosial diketahui berjumlah 20.673.
“Jumlah itu sudah kami verifikasi, disesuaikan dengan penerima PKH, BPNT dari Kementerian Sosial. Penerima bantuan di luar dari itu,” kata Haerul.
Pemerintah sebelumnya juga telah menyatakan virus corona sebagai bencana non-alam dan bencana skala nasional. Maka anggaran penanganan tersebut menjadikan prasyarat hukuman mati bagi oknum yang korupsi pada dana tersebut.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Ayat 2 Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi (Tipikor) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Sedangkan Pasal 2 Ayat 1 menyatakan:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah),”
UU ini menjelaskan bahwa keadaan tertentu dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku Tipikor apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan UU yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Lebih lanjut, Pasal 4 aturan itu menjelaskan: “Dalam hal pelaku Tipikor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan”. (*)
Discussion about this post