SAMARINDA – Pada 2017, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) mencatat luas tambang batubara mencapai 5,2 hektare dan digarap 1.404 pemegang izin usaha pertambangan (IUP).
Pada 2020 Jatam Kaltim mencatat, total konsesi pertambangan di Kaltim sebanyak 5,1 juta hektare dari luas wilayah Kaltim 12,5 juta hektare atau separuhnya. Kewenangan untuk menata luasan konsesi saat itu ada di daerah.
Publik mencatat, sebelum 2020, aturan main pertambangan mineral dan batubara masih diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Nah, sejak 10 Desember 2020, ketika Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang pertambangan mineral dan batubara alias UU Minerba diberlakukan.
Waktu itu, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim menilai pemberlakuan UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang pertambangan mineral dan batubara alias UU Minerba akan merugikan Kaltim.
”Bahwa pemberlakuan UU Minerba baru ini memberi karpet merah bagi pengusaha dan memperparah kerusakan lingkungan di Kaltim,” ujar Dinamisator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang, 14 Mei 2020, satu tahun lalu.
Kini, setelah 6 bulan pemberlakuan UU Minerba yang baru, suara minor justru datang dari para pemegang kebijakan di Provinsi Kaltim. Misal, dari pihak eksekutif Pemprov Kaltim maupun dari pihak legislatif DPRD Kaltim.
Gubernur Kaltim, Isran Noor tak henti-hentinya mengungkapkan kekecewaan terhadap legalitas yang dilakukan pemerintah pusat dalam pengelolaan pertambangan, minyak dan gas. Terlebih pada pertambangan batubara yang saat ini sudah menjadi kewenangan pusat dalam perizinannya.
Parahnya, akibat kondisi infrastruktur ulah angkutan batubara, dampaknya dirasakan masyarakat Kaltim. Jalan-jalan penghubung kabupaten dan kota menjadi rusak karena aktivitas tersebut.
Gubernur Isran Noor kali ini tak sedang memuji Presiden. Melalui rilis Humas Pemprov Kaltim, Minggu 13 Juni 2021 Gubernur Kaltim mengakui, pemerintah daerah tak berdaya. Karena, tidak adanya aturan yang menetapkan pengawasan pertambangan dilakukan pemerintah daerah.
“Itulah jadinya. Bahkan, Gubernur lewat saja tidak diperhatikannya. Padahal, lewat di hadapan kendaraan Gubernur, truk pengangkut batubara, kada begaduh inya dengan Gubernur (tidak tahu-menahu bahasa Banjar),” ujar Gubernur Isran Noor di hadapan para pemuka agama baru-baru ini.
Padahal, menurut Gubernur Isran Noor, dia juga didampingi Patwal ketika melewati truk. Tetapi, tidak diperhatikan pengemudi yang membawa angkutan batubara.
Gubernur Isran Noor menyatakan, hal itu harus disikapi dan dipahami bersama, bukan hanya Pemprov Kaltim tetapi semua pihak. Karena, jika melihat kondisinya, Pemprov Kaltim atau Gubernur yang selalu mendapat kritikan publik.
“Makanya, saya meminta pusat, agar berikan kewenangan itu. Setidaknya, pengawasan pertambangan dilakukan daerah. Karena, aturan yang sekarang tidak ada pengawasan oleh daerah,” ujar Gubernur Isran Noor.
Gubernur Isran Noor bukan kali pertama bicara tentang desentralisasi atau penarikan kebijakan dari pemerintah daerah oleh pemerintah pusat. Ketika Hari Ulang Tahun Otonomi Daerah (Otda) ke-25 tahun, Senin 26 April 2021, Lulusan Progam Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung menyatakan hal senada.
Kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi dalam menerbitkan izin pertambangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menyatakan bahwa: penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi.
Pasal 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menyatakan bahwa: Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat dan daerah provinsi serta daerah kabupaten/kota tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang ini. Namun, kini Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tak berlaku lagi.
Menurut Gubernur Isran Noor, dengan adanya Undang-Undang sekarang ke sentralistik mengurangi kewenangan daerah dan meniadakan otonomi daerah karena mengurangi kewenangan kabupaten kota untuk memberikan izin di sektor pertambangan ke Provinsi.
”Sekarang Undang Undang Nomor 3 Tahun 2020 ditarik ke pusat. Termasuk pengurusan izin Galian C ke Jakarta. Ya, rasakan saja, nda apa-apa,” ujar Doktor penulis disertasi “Desentralisasi Pemberian Izin Pertambangan Batubara Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur” ini.
DPRD Kaltim juga menyampaikan adanya beberapa perubahan yang berkaitan dengan perubahan kewenangan dalam tata kelola pertambangan batubara. Pada Senin 14 Juni 2021, jajaran Komisi III DPRD Kaltim berembug dengan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Kaltim untuk membedah perubahan kewenangan itu.
Wakil Ketua Komisi III Agus Suwandi menyatakan, pihaknya mengetahui jika kewenangan Pemerintah Provinsi, termasuk Provinsi Kaltim, banyak dikurangi. Padahal, untuk ukuran pertambangan di Kaltim yang begitu luas memerlukan pengawasan yang ketat, khususnya untuk menjaga agar tidak terjadi praktik illegal mining (tambang ilegal).
“Justru kaitannya dengan pengawasan terhadap illegal mining. Kita ingin tahu, kewenangan ESDM sekarang ini terhadap pertambangan batubara apa saja. Ternyata banyak dikurangi,” ujar Agus Suwandi dikutip dari InfoSatu.co.
Sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang pertambangan mineral dan batubara alias UU Minerba, kini Dinas ESDM Kaltim berkoordinasi dengan aparat penegak hukum (APH) untuk melakukan pengawasan.
“Mau nggak mau karena kewenangan itu bukan di kita lagi. Nantinya masyarakat melaporkan kepada ESDM. Lalu mereka yang koordinasi dengan APH,” ujar Agus Suwandi.
Setengah tahun lalu, Pemerintah Pusat, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah menerbitkan surat edaran Nomor 1481/30.01/DJB/2020 tentang Kewenangan Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang ditujukan kepada seluruh gubernur se-Indonesia. Isinya secara de jure, pemerintah pusat menarik kewenangan pengelolaan minerba dari pemerintah daerah.
Surat tersebut ditandatangani langsung oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Ridwan Djamaluddin, pada 8 Desember 2020, atas nama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
Dalam surat itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menjelaskan, sesuai dengan ketentuan Pasal 173 C Undang-Undang Minerba, kewenangan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara oleh pemerintah daerah provinsi yang telah dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan Undang-Undang lain yang mengatur tentang kewenangan pemerintah daerah di bidang Pertambangan Mineral dan Batubara berakhir pada tanggal 10 Desember 2020 atau enam bulan sejak UU Minerba mulai berlaku pada tanggal 10 Juni 2020 lalu.
Dengan begitu, dalam surat tersebut, terhitung sejak 11 Desember 2020, kewenangan pemerintah daerah provinsi dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara beralih ke pemerintah pusat.
Adapun 7 kewenangan pemerintah daerah provinsi dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara beralih ke pemerintah pusat meliputi
- Pelayanan pemberian perizinan di bidang pertambangan mineral dan batubara
- Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan terhadap pemegang perizinan di bidang pertambangan mineral dan batubara
- Pelaksanaan lelang Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) mineral logam dan WIUP batubara
- Pemberian WIUP mineral bukan logam, WIUP mineral bukan logam jenis tertentu, dan WIUP Batuan
- Pemberian persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) Tahunan
- Pemberian persetujuan pengalihan saham pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan
- Kewenangan lainnya yang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentan
- Pertambangan Mineral dan Batubara dan peraturan pelaksanaannya serta Undang-Undang lain yang mengatur tentang kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi di bidang pertambangan mineral dan batubara. (*)
Discussion about this post