pranala.co – Pulau Kalimantan terkenal akan julukannya sebagai paru-paru dunia. Hal ini karena hutan Kalimantan yang terkenal lebat dan luas. Namun hijaunya hutan Borneo ini sedikit demi sedikit mulai terkikis, digantikan dengan pemandangan lahan gundul disertai dengan lubang galian pertambangan.
Karena di balik hutannya yang lebat, Kalimantan memiliki kilauan emas hitam paling berharga tetapi menyeramkan. Berdasarkan data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat ada 1.735 lubang tambang di Kalimantan Timur (Kaltim). Salah satunya tersebar di daerah Kecamatan Samboja Kutai Kartanegara (Kukar).
Nyaris di sepanjang jalan poros Balikpapan-Handil, di kiri dan kanannya menampakkan bekas galian tambang batu bara. Bahkan lubang-lubang itu seperti dibiarkan atau ditinggal pergi oleh si penambang.
Nampak di beberapa lokasi masih ada ditemukan aktivitas pertambangan. Lokasinya berada di Kelurahan Margomulyo. Tetapi yang cukup mencengangkan, diduga aktivitas pertambangan itu masuk dalam kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto, Kecamatan Samboja.
Itu dibuktikan dengan titik koordinat yang diperoleh, di mana lokasi tersebut masuk kawasan suaka alam (KSA) atau kawasan pelestarian alam (KPA) yang tak lain adalah Tahura Bukit Soeharto.
Dari pantauan media ini kemarin (21/12), tak hanya lokasi penambangan yang masuk tahura. Stock pile yang menjadi lokasi penumpukan batu bara juga masuk kawasan konservasi itu. Dua lokasi itu jaraknya tak berjauhan.
Salah satu warga Samboja, Budi Saputro mengungkapkan, aktivitas penambangan itu sudah berlangsung sekitar 5 bulan belakangan. Jika diperhatikan, lokasi tambang itu juga tak jauh dari Waduk Manggar. Dia menyebut, batu bara itu ditumpuk di stock pile lalu dimasukkan ke karung.
Selanjutnya batu bara itu dibawa ke Terminal Peti Kemas (TPK) Kariangau di Balikpapan menggunakan truk kontainer. “Batu baranya dikirim menggunakan kapal pakai kontainer,” katanya.
Penambang batu bara yang diduga ilegal itu diketahui dilakukan oleh pengusaha asal Surabaya. Tentunya keberadaan penambangan itu dikeluhkan sejumlah warga Samboja.
Merasa penambangan itu dapat mengancam Waduk Samboja, warga berharap ada tindakan dari aparat atau tim dari UPTD Tahura atau Gakkum KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) untuk menertibkan penambangan itu
Sementara itu, terpisah Anggota Komisi VII DPR RI Ismail Thomas mengatakan, pentingnya dilakukan pengawasan dan penindakan terhadap tambang yang tak berizin. Yang biasanya meninggalkan lubang bekas tambang, tanpa menyetorkan dana jaminan reklamasi.
“Habis menggali mereka lari. Makanya itu, yang perlu ditertibkan. Tambang ilegal ini, karena tidak ada tanggung jawab reklamasi dari pengusahanya,” pesan dia.
Politikus PDIP ini menerangkan peraturan dan produk hukum mengenai reklamasi terhadap lubang bekas tambang sudah disiapkan oleh pemerintah. Termasuk dana jaminan reklamasi yang dititipkan perusahaan tambang yang mengantongi izin. Dan pemerintah daerah pun, selaku perwakilan pemerintah pusat di daerah bisa turut mengawasi hal ini.
Jangan hanya mengeluhkan, mengenai kebijakan mengenai pertambangan yang kini sepenuhnya diambil alih oleh pemerintah pusat.
“Tetapi koordinasi dengan penegak hukum dan Kementerian ESDM maupun KLHK. Laporkan, kalau ada tambang ilegal di Kaltim,” terang mantan bupati Kubar periode 2006-2016 ini.
Selain itu, pemerintah daerah seharusnya bisa lebih tegas untuk menindak kegiatan pertambangan tak berizin. Padahal pemerintah pusat sudah mengatur dengan jelas mengenai reklamasi pasca tambang.
“Kalau ada tambang liar ya harus ditutup. Penjarakan penambang liarnya,” pungkas pria berkacamata ini.
Sebagai informasi, Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto, Kecamatan Samboja ini rupanya sudah 4 kali mengalami perubahan perluasan. Peta yang ada pada gambar saat ini, merupakan peta terbaru Tahura saat ini. Dinamisator Jatam Kaltim Pradarma Rupang mengatakan, Peta tahura ini yang masuk wilayah Samboja.
Hanya tahura itu sudah berkali-kali alami perubahan atau bergeser. Dari perubahan tersebut akhirnya berdampak pada beberapa lokasi yang ada aktivitas tambang. “Yang sebelumnya masuk kawasan konsesi malah jadi di luar tahura,” katanya.
Namun kembali, dipastikan berdasarkan titik koordinat yang didapatkan media ini, aktivitas tambang yang dikeluhkan warga saat ini masuk dalam kawasan konservasi. [ris]
Discussion about this post