PRANALA.CO, Samarinda – Nelayan di Kaltim dalam gempuran pertambangan batu bara. Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Pradarma Rupang pun sepakat dengan hal tersebut. Sebab sudah berkali-kali para nelayan memprotes keberadaan pertambangan yang membuat hidup mereka makin sesak.
Pasalnya aktivitas pertambangan juga memengaruhi laut. Seperti aktivitas bongkar muat yang efeknya mengerikan, merusak terumbu karang. Padahal, terumbu karang adalah rumah-rumah ikan. Hilang rumah, maka hilang pula ikan-ikan.
“Beberapa kali aksi nelayan seperti di Balikpapan, Muara Badak menahan tongkang beberapa hari. Di Sandaran juga ada. Lalu, di Muara Jawa yang memblokade Jembatan Dondang,” beber Rupang, Jumat (18/9/2020) sore.
Kata Rupang, aksi nelayan tersebut merupakan protes. Belum lagi tumpahan batu bara yang mencemari lautan. Maka ini akan menyusahkan para nelayan. Mereka harus berlayar lebih jauh mencari ikan dengan peralatan seadanya. Hasil pun, tak sebanyak sebelumnya. Rupang mengambil contoh kasus yang terjadi di Balikpapan.
Merasakan dampak sejak 2014, nelayan di kawasan Manggar Balikpapan kala menebar jala, kerap mendapat batu bara, tak hanya ikan dan udang lagi. Penyebabnya, aktivitas bongkar muat batu bara. Walhasil, dengan kapal-kapal kecilnya, nelayan pun beraksi memblokade menunjukkan protes mereka.
“Padahal, dahulu dengan kapal-kapal kecilnya, para nelayan tradisional hanya perlu melaut sejauh 4 mil. Namun, kini perlu menjangkau 8 hingga 10 mil, agar bisa dapat ikan,” imbuh Rupang.
Artinya para nelayan ini harus meluangkan ekstra biaya, waktu, dan bertaruh risiko. Tak hanya itu, dipaparkan juga oleh Rupang, nelayan kesulitan membawa hasil banyak. Biasa Rp 700-800 ribu tiap pulang melaut, kini hanya membawa Rp 300-400 ribu. Ironisnya lagi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pun telah menginstruksikan pembuatan Rencana Zonasi dan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). Tujuannya, melindungi kawasan maritim Indonesia. Kaltim tak terkecuali. Dan saat ini prosesnya dalam finalisasi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) RZWP3K atau Zonasi Laut di DPRD Kaltim.
“Tapi rancangan RZWP3K ini tak sesuai harapan,” tegas Rupang.
Bersama Jaringan Advokat Lingkungan (JAL) Balikpapan, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Jatam Kaltim yang tergabung dalam koalisi Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Ruang (AMUK Bahari) Kaltim pihaknya mengawal rancangan tersebut. Sejauh ini sejumlah temuan mereka ialah, RZWP3K tak banyak berpihak pada kepentingan nelayan tradisional. Seperti perhitungan batas nol, yang berbeda. Hingga mangrove yang tak masuk pemetaan.
Padahal, mangrove ini penting dalam keberlangsungan ikan. Jika Raperda RZWP3K ini disahkan terburu-buru, maka bisa berpotensi menyingkirkan, merampas, serta membatasi ruang hidup masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di Kaltim. Tak hanya itu, nelayan tradisional juga bisa kesulitan menangkap ikan.
“Untuk itu kami minta batalkan Raperda RZWP3K Kaltim, tarik kembali draf raperda ke rakyat dan libatkan partisipasi nelayan tradisional dan masyarakat pesisir di Kaltim secara luas,” pungkasnya. (*idn)
Discussion about this post