PRANALA.CO, Jakarta – Drama pro dan kontra Undang-Undang Cipta Kerja memasuki babak baru. Pemerintah ngotot melanjutkan pelaksanaan undang-undang tersebut dengan menyusun aturan turunan, baik peraturan pemerintah (PP) dan peraturan presiden (Perpres).
Pemerintah mengklaim, omnibus law cipta kerja memiliki spirit penyederhanaan perizinan untuk memudahkan investasi masuk. Namun, Undang-Undang Cipta Kerja justru dianggap berpotensi menghasilkan banyak peraturan turunan.
Kalangan pengusaha berharap penyusunan aturan turunan bisa dipercepat. Sementara, kaum buruh tetap menolak beleid tersebut.
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, menyebut, akan ada 40 aturan turunan terkait omnibus law cipta kerja. Rinciannya: 35 PP dan 5 Perpres. Pelbagai aturan ini, katanya, akan diselesaikan dalam waktu tiga bulan.
Sejumlah Kementerian telah buka suara perihal isi PP tersebut. Kementerian Ketenagakerjaan misalnya, mengatakan, pemerintah akan membahas tiga rancangan dan satu revisi terkait klaster ketenagakerjaan.
Kemenaker akan membahas PP tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing; PP tentang Hubungan Kerja, Waktu Kerja, Waktu Istirahat, serta Pemutusan Hubungan Kerja, Revisi PP tentang Pengupahan, serta PP tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertahanan Nasional akan menerbitkan sedikitnya lima peraturan pelaksana UU Cipta Kerja, yaitu peraturan terkait tata ruang, pengadaan tanah untuk kepentingan umum, tanah terlantar, bank tanah, dan hak atas tanah.
Kementerian Keuangan menyebutkan, akan ada 2 PP dari UU Cipta Kerja dan revisi 12 Peraturan Menteri Keuangan. Peraturan menteri ini di antaranya mengatur soal pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), dan ketentuan umum dan tata cara perpajakan (KUP).
Kekuasaan terpusat
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari meragukan undang-undang sapu jagat tersebut dapat benar-benar memangkas regulasi seperti yang diklaim oleh pemerintah. Sebab banyak aturan yang tidak komprehensif ataupun mendetail dalam UU Ciptaker.
Bukannya mempermudah perizinan, Feri justru melihat undang-undang ini lebih seperti pemberian kuasa kepada presiden untuk membuat aturan-aturan turunan melalui Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden. Hal ini karena tidak adanya aturan yang rigid dalam UU Ciptaker, melainkan langsung mendelegasikannya pada aturan lain.
“Akibatnya tidak hanya membludaknya aturan baru, tetapi juga menyebabkan PP dan Perpres dapat mengatur apa. Ini justru berpotensi membangun sentralisasi kekuasaan,” katanya kepada Lokadata.id, Senin (19/10/2020).
Feri mencontohkan, dalam klaster Ketenagakerjaan saja setidaknya terdapat 19 kali pendelegasian aturan UU Ciptaker kepada aturan turunannya. Hal ini tercermin melalui penggunaan frasa “diatur dengan Peraturan Pemerintah” dalam klaster tersebut.
Frasa tersebut secara teknis harus diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Di mana materi muatannya tidak dapat bercampur dengan materi lainnya yang tidak diperintahkan untuk diatur lebih lanjut.
“Belum lagi aturan turunan dari PP dan Perpres berupa Peraturan Menteri atau Peraturan Daerah. Jumlahnya bisa berpotensi 34 Permen, 34 Perda Provinsi, 500 Perda kab/kota. Belum termasuk aturan badan atau lembaga,” paparnya.
“Itu dengan catatan masing-masing buat satu aturan turunan. Bagaimana jika setiap isu di omnibus dibuat masing-masing perdanya, ya silakan dikalikan 11 semua,” kata Feri.
Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan, jika pemerintah ingin memangkas regulasi seharusnya dilakukan dengan menyelesaikan akar permasalahan dalam pembentukan regulasi. Bukan dilakukan dengan menambah regulasi baru.
Salah satunya dengan mewujudkan Pusat Legislasi Nasional. Sebab badan ini didesain untuk membereskan peraturan bermasalah dengan menyisir semua aturan yang ada hingga memetakan mana saja regulasi yang tumpang-tindih.
“UU memang biasanya tidak detail, ini biasa karena proses legislasi undang-undang lebih rumit, jadi yang sifatnya teknis diatur dalam peraturan pelaksanaan. Undang-Undang Ciptaker dibuat dengan metode omnibus yang terlalu besar sehingga peraturan turunannya juga akan sangat banyak,” katanya.
Pengusaha ingin cepat, buruh menolak
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Umum Kadin bidang Perdagangan, Benny Soetrisno mengatakan, pengusaha tak mempersoalkan jika ternyata nantinya omnibus law cipta kerja ini memiliki banyak aturan turunan.
“Pengusaha no problem (aturan turunannya banyak). Yang penting untuk pengusaha itu adalah jelas, tidak ambigu, dan cepat. Karena waktu jalan terus. Lalu persaingan ke depan semakin tinggi,” kata Benny kepada Lokadata.id.
Benny juga menyatakan, kendati aturan turunan ini tengah disusun, pengusaha masih ragu apakah pemerintah benar-benar bisa melaksanakan UU Cipta Kerja.
Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Kahar S Cahyono mengatakan pihaknya telah menerima undangan dari Kementerian Ketenagakerjaan pada 14 Oktober lalu untuk membahas peraturan turunan dari Omnibus Law ini.
Pembahasan yang tertera dalam undangan tersebut, rencananya akan dilakukan hari ini, Senin (19/10/2020).
“Tetapi kami menolak untuk terlibat dalam pembahasan aturan turunan tersebut karena Undang-Undang Cipta Kerja sudah problematic,” ujar Kahar kepada Lokadata.id, Senin (19/10).
Kahar mengatakan, KSPI setelah mengkaji draf Omnibus Law UU Cipta Kerja setebal 812 halaman, menemukan beberapa persoalan di klaster ketenagakerjaan dengan membandingkan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Yang pertama soal pekerja untuk waktu tertentu atau kontrak, tidak diatur batasan waktunya. Padahal, jika merujuk Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pekerja bisa dikontrak paling lama dua tahun dan diperpanjang satu tahun.
“Pasal di UU Ketenagakerjaan itu hilang, sehingga ditafsirkan karyawan bisa dikontrak berulang-ulang seumur hidup dan itu akan berpengaruh pada kesejahteraannya,” ujar Kahar.
Di Undang-Undang Ketenagakerjaan ada lima jenis pekerjaan yang bisa diserahkan kepada perusahaan alih daya yaitu sopir, petugas kebersihan, sekuriti, katering, dan jasa migas pertambangan, sedangkan di UU Cipta Kerja tidak disebutkan jenis pekerjaannya.
UU Cipta Kerja menghilangkan penetapan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK). Selain itu Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) juga diterapkan dengan syarat.
Jika UMSP dan UMSK dihapuskan maka hal itu tidak adil bagi pekerja di beberapa sektor seperti otomotif atau pertambangan yang selama ini berlaku sesuai kontribusi tiap-tiap industri terhadap pendapatan negara. Jika dihapuskan, maka bisa saja upah minimum pekerja di sektor tersebut sama dengan di perusahaan baru.
Jika UMK diterapkan dengan syarat, bisa saja menjadi tidak mengikat atau bisa tidak dilakukan.
“Untuk saat ini, kami sedang menyusun gugatan, dan akan kami ajukan ke Mahkamah Konstitusi jika Undang-Undang Cipta Kerja ini sudah resmi, sudah ditandatangani oleh Presiden,” kata Kahar.
Menurut Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar, penyusunan PP tidak akan menyelesaikan masalah. “Sekarang bicara PP. Sudah jadi misalnya satu minggu lagi. Ribut lagi terus damai lagi. Istilahnya turun lagi tensi penolakan terhadap PP dan UU. Dua tahun kemudian pemerintah bilang mau revisi lagi, protes lagi,” kata Timboel.
Menurut dia, karena muncul banyak aksi akibat undang-undang itu, investasi akhirnya tidak jadi masuk.
[lokadata]
Discussion about this post