PRANALA.CO – Pemkot Bontang, Kalimantan Timur telah mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Timur, dan Kota Bontang. Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2000.
Para Pemohon Perkara Nomor 10/PUU-XXII/2024 ini menguji Penjelasan Pasal 2, Pasal 7, Pasal 10 ayat (4), Pasal 10 ayat (5), serta Lampiran 5 berupa peta wilayah Kota Bontang dalam UU 47/1999 terhadap Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945.
Kuasa hukum para pemohon Heru Widodo menilai pasal-pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil karena menetapkan batas-batas wilayah Kota Bontang yang tidak sesuai dengan batas historis wilayahnya. Baik ketika masih berstatus Kecamatan Bontang maupun setelah berstatus Kota Administratif Bontang.
Pada 4 Oktober 1999 dengan disahkannya UU 47/1999, Kota Bontang secara resmi dibentuk dan ditetapkan terdiri dari dua kecamatan, yakni Kecamatan Bontang Selatan dan Bontang Utara. Adapun Kecamatan Bontang Barat yang telah dibentuk 16 Juli 1999 berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Kutai No. 17/1999, tidak ikut ditetapkan menjadi bagian dari wilayah Kota Bontang.
“Di dalam Undang-Undang bahkan ada pengurangan wilayah yang tadinya sampai di bawah sampai Desa Sekambing ketika Undang-Undang itu disahkan desa itu menjadi tidak ada di dalam peta,” ujar Heru Widodo.
Selain itu, para pemohon memaparkan, sejak Pemilu 2004-2024, wilayah Sidrap telah masuk menjadi bagian dari daerah pemilihan Kota Bontang. Warga Sidrap yang berada di RT 19 sampai dengan RT 25 telah terdaftar sebagai pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Kelurahan Guntung, Kota Bontang dan menyalurkan hak pilihnya di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang ada di wilayah Kecamatan Bontang Utara.
Menurut pemohon, lampiran 5 UU 47/1999 yang tidak memasukkan wilayah Desa Sidrap sebagai bagian dari daerah pemilihan Kota Bontang telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam konteks penggunaan hak pilih warga.
Para pemohon dan Pemkab Kutai Timur telah tercapai suatu kesepakatan mengenai masuknya kembali wilayah Sidrap ke wilayah Kota Bontang sesuai dengan aspirasi warga Sidrap yang selama ini telah menyatakan sikap untuk bergabung dengan Kota Bontang. Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil, karena pada akhirnya DPRD Kabupaten Kutai Timur membatalkan secara sepihak tanpa alasan.
“Karena rangkaian fakta tentang upaya-upaya untuk menyelesaikan batas wilayah tersebut khususnya mengenai Dusun Sidrap tidak berujung, maka upaya terakhir para pemohon lakukan adalah dengan memohon keadilan dan penyelesaian dari Mahkamah Konstitusi melalui uji materiil, salah satunya atas Lampiran 5 UU 47/1999,” sebutnya.
Dalam petitumnya, para pemohon meminta MK menyatakan penjelasan Pasal 2 UU 47/1999 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Para pemohon juga meminta MK memasukkan Bontang Barat dalam Pasal 7 dan Pasal 10 ayat 4 huruf c UU 47/1999. Kemudian para pemohon meminta MK memaknai Pasal 10 ayat 5 huruf d UU 47/1999 menjadi d.
Kota Bontang mempunyai batas wilayah sebelah barat dengan Kecamatan Sangatta Kabupaten Kutai Timur” serta tidak memasukkan wilayah Dusun Sidrap sebagai bagian dari wilayah Kecamatan Bontang Utara Kota Bontang dan Desa Sekambing sebagai bagian dari wilayah Kecamatan Bontang Selatan Kota Bontang dalam Lampiran 5 UU 47/1999.
Sidang panel pemeriksaan pendahuluan perkara ini dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Anwar Usman. Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam nasihatnya meminta para Pemohon menjelaskan pengalokasian dana untuk Dusun Sidrap maupun Desa Sekambing, apakah berasal dari APBD Kota Bontang atau APBD Kabupaten Kutai Timur.
Selain itu, Enny juga meminta para Pemohon menguraikan sumber daya yang ada di Dusun Sidrap serta tata kelola desa yang bertanggung jawab ke Kota Bontang atau Kabupaten Kutai Timur. Sementara Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan aturan penentuan batas wilayah provinsi, kabupaten/kota, maupun kecamatan merupakan open legal policy atau diserahkan kepada pembentuk undang-undang. Namun, memang terkadang bisa menimbulkan permasalahan dalam implementasinya di lapangan.
“Karena itu dalam kesempatan ini harus bisa ditunjukkan satu tadi sudah diuraikan sedikit tapi kurang jelas, apakah memang sudah pernah diselesaikan menurut tingkatannya,” tutur Arief.
Sebelum menutup persidangan, Arief menyatakan, Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonan. Selamba-lambatnya perbaikan permohonan disampaikan ke MK pada Senin, 26 Februari 2024 pukul 09.00 WIB. (*)
Discussion about this post