pranala.co – Gubernur Kalimantan Timur mengeluarkan dua surat edaran untuk menekan dampak merosotnya harga tandan buah segar sawit. Para petani swadaya, yang tidak bermitra dengan perusahaan, butuh perlindungan nyata dari gejolak harga. Di sisi lain, pengusaha juga merasa dirugikan dengan pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng.
Dua surat edaran tersebut diterbitkan pada Rabu (27/4/2022). Pertama, Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor menerbitkan SE No 65/3729/DISBUN/2022 yang ditujukan bagi seluruh bupati. Isinya, para bupati di Kaltim diminta untuk mengawasi pembelian tandan buah segar (TBS) sawit dari pekebun yang bermitra ke perusahaan.
Bagi pekebun yang sudah bermitra dengan perusahaan, harga TBS sawit ditentukan setiap bulan oleh Pemerintah Provinsi Kaltim. Itu sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 01 Tahun 2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun.
Harga di Kaltim saat ini masih mengikuti harga Maret 2022, antara Rp 3.039-Rp 3.452 per kilogram, sesuai umur tanaman. Semakin tua tanaman, maka semakin tinggi harga TBS sawit.
Gubernur Kaltim meminta para bupati memberi sanksi atau peringatan kepada perusahaan yang membeli dengan harga yang tidak sesuai. Sebab, bupati yang memberi izin para perusahaan sawit tersebut.
Poin terakhir dalam SE tersebut, Gubernur Kaltim meminta kepala daerah mendorong fasilitasi kemitraan antara pekebun dan perusahaan perkebunan sawit. Sebab, kemitraan bisa memberi perlindungan lebih bagi pekebun dari ketidakpastian harga TBS.
Adapun SE Gubernur Kaltim yang kedua bernomor 065/3730/DISBUN/2022. Ini ditujukan kepada pemimpin perusahaan pabrik kelapa sawit se-Kalimantan Timur. Isi surat itu mengimbau agar pihak perusahaan membeli TBS dari pekebun mitra sesuai dengan yang sudah ditentukan.
Kepala Dinas Perkebunan Kaltim Ujang Rachmad mengatakan, saat ini masih sedikit pekebun sawit di Kaltim yang bermitra dengan perusahaan. Akibatnya, banyak petani swadaya yang terdampak dengan merosotnya harga TBS.
Anjloknya harga itu terjadi sejak pemerintah melarang ekspor bahan baku minyak goreng, yaitu refined, bleached, deodorized (RBD) palm olein. Di Kaltim, harga TBS sawit yang semula Rp 3.100 per kg merosot hingga di kisaran Rp 1.600 per kg.
”Untuk itu, dalam SE Gubernur Kaltim, pemerintah kabupaten diminta untuk mendorong fasilitasi kemitraan antara pekebun dan perusahaan. Harapannya, agar pekebun bisa mendapat perlindungan dari ketidakpastian harga TBS,” ujar Ujang.
Permainan harga
Ujang berasumsi, ada sejumlah pihak yang memainkan harga di tengah anjloknya harga sawit. Ia menduga, larangan ekspor RBD palm oleinini membuat perusahaan khawatir tidak bisa menjual produk turunan dari TBS yang dibeli dari masyarakat.
Akibatnya, pabrik-pabrik mengurangi pembelian TBS. Ujang berasumsi, pabrik lebih mengutamakan TBS dari kebun milik perusahaan mereka sendiri. Dampak lanjutannya, para tengkulak atau loading ramp pun ikut mengurangi pembelian ke petani atau pekebun.
”Di dalam proses itu, asumsi saya, ada orang-orang yang mengambil keuntungan. Sekali lagi ini asumsi dan memang harus dibuktikan. Kita lihat pengawasan ke depannya,” katanya.
Ahmad Indradi (44), petani di Kecamatan Babulu, Penajam Paser Utara, khawatir petani sawit tidak bisa menanam jika harga terus merosot. Sebab, harga produksi lebih tinggi daripada harga jual.
Ia menjelaskan, kini, harga pupuk di tingkat petani sekitar Rp 600.000 per karung (50 kg). Sejak awal 2022, harga tersebut naik dua kali lipat dari sebelumnya Rp 300.000 per karung. Selanjutnya, harga herbisida yang sebelumnya Rp 50.000 per liter naik nyaris tiga kali lipat menjadi Rp 140.000 per liter.
”Sebelum ada kenaikan harga, biaya produksi petani Rp 1.000 per kg TBS. Setelah harga pupuk dan lain-lain naik, biaya produksi TBS sekitar Rp 1.800 per kg. Itu dengan asumsi hasil panennya 2 ton per hektar setiap bulan,” kata Ahmad.
Ia meminta pemerintah memberi perlindungan nyata kepada petani sawit sepertinya yang tidak bermitra dengan perusahaan. Selama ini, ia dan kawan-kawannya sudah berupaya mengajukan kemitraan, tetapi selalu gagal.
”Untuk membuat kemitraan dengan perusahaan sawit itu sulit sekali. Kami sudah coba bersurat dan berbagai cara, termasuk minta bantuan pemda, tetapi tetap tak bisa. Itu yang membuat posisi petani sangat lemah,” ujar Ahmad.
Kerugian pengusaha
Kebijakan larangan ekspor bahan baku minyak goreng ini juga membuat kalangan pengusaha merasa dirugikan. Mereka mengaku sudah terikat dengan sejumlah kontrak dagang. Namun, larangan ekspor membuat mereka tak bisa mengirim sesuai kesepakatan.
”RBD ini kan produk yang memang setiap bulan dan setiap tahunnya dijual. Kalau tidak boleh diekspor, ada yang sudah menjalin kontrak ke sejumlah perusahaan di luar negeri, kemudian stop. Konsumen pasti akan kecewa, ke depan pengusaha Indonesia punya potensi kehilangan pelanggan,” ujar Azmal Ridwan, pembina Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Kaltim.
Menurut dia, pemerintah seharusnya menentukan batas waktu larangan ekspor tersebut. Hal itu bisa memudahkan pengusaha untuk berhitung dan berkomunikasi dengan mitra kerja di luar negeri. Pemerintah juga diminta untuk menyebutkan kekurangan RBD dalam negeri agar bisa dipenuhi.
”Kurangnya berapa, itu coba dipenuhi. Tidak perlu dilarang ekspor, tetapi dikurangi saja ekspornya. Kalau itu tidak masalah,” kata Azmal.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa larangan ekspor komoditas itu guna mengembalikan harga minyak goreng curah bersubsidi. Di beberapa daerah, harga minyak goreng curah masih di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp 14.000 per liter atau Rp 15.500 per kg.
”Kebijakan (larangan ekspor) itu akan diterapkan pada 28 April 2022 pukul 00.00 dan akan berlangsung hingga harga minyak goreng curah di pasar domestik mencapai Rp 14.000 per liter. Ini merupakan bentuk regulatory sandbox yang akan dimonitor dan dievaluasi secara berkala sesuai kondisi,” ujarnya. (pas/id)
Discussion about this post