MARHABAN ya Ramadhan. Selamat datang bulan Ramadan. Alhamdulillah, selayaknya setiap Muslim bersyukur dan bergembira dengan kedatangan Ramadhan. Sebabnya, Ramadhan adalah bulan penuh rahmat. Bulan penuh berkah. Juga bulan penuh ampunan.
Ramadan kali ini sedikit berbeda dengan tahun sebelumnya. Alhamdulillah, tahun ini wabah pandemi Covid-19 mulai mereda. Tak lagi banyak memakan korban jiwa. Sebagaimana tahun sebelumnya.
Meski demikian, wabah Corona telah melumpuhkan ekonomi negara. Dunia usaha kelimpungan. Banyak perusahaan tutup. Sebagian malah bangkrut. Banyak karyawan dirumahkan. Tak sedikit di-PHK tanpa pesangon. Akibatnya, banyaknya pengangguran makin tak terelakkan. Mereka, setidaknya dalam 1-2 tahun ini, masih banyak yang merasakan kesulitan ekonomi. Sampai saat ini pun belum kelihatan jelas tanda-tanda kebangkitan kembali ekonomi masyarakat.
Di sisi lain, ada potensi “wabah” lain yang tak kalah membahayakan. Di antaranya potensi wabah kesyirikan. Paling mutakhir adalah kasus kesyirikan dalam peresmian proyek IKN dan ajang MotoGP di Mandalika. Ironisnya, keduanya difasilitasi oleh Pemerintah. Lebih ironis lagi, tak sedikit yang memandang ritual syirik tersebut sebagai bagian dari kearifan lokal.
Potensi wabah lainnya adalah wabah moderasi agama yang terus disuarakan oleh berbagai pihak. Moderasi agama ini jelas berbahaya karena menciptakan bencana bagi agama (Islam). Lahirlah sinkretisme agama dalam balutan istilah Islam Nusantara. Muncullah toleransi agama yang kebablasan seperti ritual doa bersama lintas agama, shalawatan di gereja, nikah beda agama, dll.
Potensi wabah lainnya adalah wabah penistaan agama (Islam). Akhir-akhir ini, penistaan agama makin marak. Yang paling mutakhir, ada pendeta Kristen yang dengan lancang meminta kaum Muslim untuk menghapus 300 ayat al-Quran, menantang pembuktian kehebatan Nabi Muhammad saw., dll. Seolah itu melengkapi penistaan agama oleh oknum di kalangan Islam sendiri seperti Deny Siregar, Abu Janda, Ade Armando, dan lain-lain.
Wabah lainnya adalah wabah kezaliman akibat penguasa bersekutu dengan oligarki. Merekalah yang selama ini menguasai sebagian besar sumber-sumber kekayaan milik rakyat. Bahkan kasus kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng baru-baru ini, yang amat menyusahkan rakyat, disinyalir adalah ulah para mafia dan pelaku monopoli yang terhubung dengan oligarki. Mereka diduga kuat melakukan penimbunan dan mempermainkan harga.
Belum lagi kezaliman di balik isu terorisme dan radikalisme yang terus memakan korban dari kalangan umat Islam. Kasus pembunuhan Dr. Sunardi oleh Densus 88—yang belakangan menurut DPR tidak terbukti melakukan tindakan terorisme—bukanlah kasus pertama. Sudah ratusan orang yang terduga teroris ditangkap atau bahkan dibunuh oleh Densus 88 tanpa diadili.
Di sisi lain, kriminalisasi tokoh-tokoh Islam yang kritis terhadap kekuasaan masih terus terjadi. Yang paling berbahaya tentu wabah sekularisme—bahkan sekularisme radikal—yang mengakibatkan munculnya islamophobia. Suara azan dipersoalkan, penceramah yang dicap radikal—hanya karena sering bersikap kritis terhadap kekuasaan—dilarang tampil di televisi, dll. Yang tentu tak boleh dilupakan adalah penelantaran syariah Islam yang terus berlangsung hingga kini akibat penerapan sistem sekuler oleh Negara.
Semua ini tentu sebagai akibat umat ini masih jauh dari ketakwaan. Padahal tujuan dari pelaksanaan puasa Ramadhan adalah mewujudkan takwa, sementara puasa Ramadhan telah puluhan kali dilaksanakan oleh umat Islam.
Tak Cukup dengan Puasa
Mengapa faktanya umat masih jauh dari ketakwaan, padahal puasa Ramadhan telah puluhan kali mereka laksanakan? Tidak lain karena puasa Ramadhan hanyalah salah satu—bukan satu-satunya—pembentuk ketakwaan. Al-Quran memang menyatakan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa itu pernah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa (TQS al-Baqarah [2]: 183).
Namun demikian, di dalam al-Quran sendiri tak hanya ayat tentang kewajiban puasa yang diakhiri dengan frasa; la’allakum tattaqûn (agar kalian bertakwa). Allah SWT juga antara lain berfirman dalam beberapa ayat berikut:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai manusia, beribadahlah kalian kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa (TQS al-Baqarah [2]: 21).
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي اْلأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون
Bagi kalian, dalam hukum qishâsh itu ada kehidupan, wahai orang-orang yang memiliki akal, agar kalian bertakwa (TQS al-Baqarah [2]: 179).
وَ أَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus (Islam). Karena itu ikutilah jalan itu dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan lain hingga kalian tercerai-berai dari jalan-Nya. Yang demikian Allah perintahkan agar kalian bertakwa (TQS al-An’am [6]: 153).
Berdasarkan ayat-ayat di atas, jelas bahwa tak cukup dengan puasa orang bisa meraih takwa. Ibadah (totalitas penghambaan kita kepada Allah SWT), pelaksanaan hukum qishâsh (juga seluruh hukum Allah SWT yang termaktub dalam al-Quran), serta keistiqamahan kita di jalan Islam dan dalam melaksanakan seluruh syariah Islam, semua itulah yang bisa mengantarkan diri kita benar-benar meraih takwa yang hakiki.
Kembali kepada al-Quran
Bukti ketakwaan hakiki tidak lain adalah pengamalan dan penerapan al-Quran secara total. Terkait itu Allah SWT berfirman:
لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Andai al-Quran ini Kami turunkan di atas gunung, kamu (Muhammad) pasti menyaksikan gunung itu tunduk dan pecah berkeping-keping karena takut kepada Allah. Perumpamaan itu kami buat untuk manusia agar mereka mau berpikir (TQS al-Hasyr [59]: 21).
Saat menafsirkan ayat ini, Imam ath-Thabari menyatakan: Allah Yang Mahaagung berfirman, “Andai Kami menurunkan al-Quran kepada sebuah gunung, sementara gunung itu berupa sekumpulan bebatuan, pasti engkau akan melihat, wahai Muhammad, gunung itu sangat takut.” Tidak lain karena gunung tersebut sangat khawatir tidak sanggup menunaikan hak-hak Allah yang diwajibkan atas dirinya, yakni mengagungkan al-Quran (Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, 23/300).
Karena itulah, menurut Abu Hayan al-Andalusi, ayat ini merupakan celaan kepada manusia yang keras hati dan perasaannya tidak terpengaruh sedikit pun oleh al-Quran. Padahal jika gunung yang tegak dan kokoh saja pasti tunduk dan patuh pada al-Quran, sejatinya manusia lebih layak untuk tunduk dan patuh pada al-Quran (Abu Hayan al-Andalusi, Bahr al-Muhîth, 8/251).
Sayang, apa yang dinyatakan oleh Abu Hayan al-Andalusi ini justru banyak terjadi saat ini. Banyak manusia tidak tunduk dan patuh pada al-Quran. Banyak manusia yang bahkan tidak bergetar saat al-Quran dibacakan. Boleh jadi hal itu karena banyak hati manusia yang sudah mengeras. Bahkan lebih keras dari batu. Tak sedikit pun terpengaruh oleh bacaan al-Quran. Apalagi tergerak untuk mengamalkan isinya dan menerapkan hukum-hukumnya.
Padahal al-Quran sejatinya Allah SWT turunkan agar menjadi rahmat bagi manusia (Lihat: QS Fushilat [41]: 2-3). Sebagai rahmat, al-Quran benar-benar menjanjikan keberkahan bagi manusia. Tentu saat al-Quran secara nyata diterapkan di tengah-tengah kehidupan mereka. Allah SWT berfirman:
وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Al-Quran itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati. Karena itu ikutilah kitab tersebut dan bertakwalah agar kalian diberi rahmat (TQS al-An‘am [6]: 155).
Imam al-Alusi menjelaskan bahwa al-Quran disifati dengan mubârak (yang diberkati) karena mengandung banyak kebaikan di dalamnya, untuk kepentingan agama maupun dunia. Adapun frasa fattabi‘ûhu, maknanya adalah fa‘malû bimâ fîhi (Karena itu amalkanlah semua hal yang terkandung di dalam al-Quran itu) (Al-Alusi, Rûh al-Ma’âni, 6/77).
Karena itu tentu penting mengamalkan dan menerapkan seluruh isi al-Quran. Baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat maupun negara. Di sinilah pentingnya formalisasi dan pelembagaan al-Quran. Di sini pula pentingnya negara menerapkan al-Quran dalam seluruh aspek kehidupan. Inilah yang dipraktikkan oleh Rasulullah saw. saat memimpin Daulah Islam di Madinah, juga oleh Khulafaur Rasyidin dan para khalifah setelah mereka sepanjang sejarah Kekhilafahan Islam.
Dengan demikian Ramadhan sudah selayaknya dijadikan momentum oleh kaum Muslim, termasuk para penguasa, untuk benar-benar mewujudkan takwa yang hakiki. Caranya adalah dengan kembali pada al-Quran, yakni dengan mengamalkan dan menerapkan seluruh isi dan hukum-hukumnya. Inilah yang pasti akan menjadi solusi atas seluruh problem kehidupan, khususnya bagi negeri ini.
(red/ril)
Discussion about this post