Wabah mengaburkan masa depan para pekerja seks di Indonesia. Karena tak bisa berharap pada pemerintah, mereka giat berserikat dan kini menyambung hidup lewat usaha kecil-kecilan
RONI* termangu di depan sebuah minimarket menghadap Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, yang menyapanya dengan keheningan tak wajar. Hilang sepenuhnya satu-dua kendaraan yang menepi mencari jasa Roni, sebagaimana hari-hari biasa. Malam itu, mengenakan jaket tebal, dan topi berwarna gelap di atas kepala, dia langsung mengeluh tak lama setelah kami berkenalan.
“Kerjaan [lagi] sepi,” ujarnya, dengan senyum yang sedikit dipaksakan.
Roni bekerja sebagai germo, induk semang sekaligus makelar para pekerja seks yang beroperasi di kawasan Mangga Besar. Pandemi Corona yang menyapu dunia empat bulan terakhir membuat pondasi bisnis lendirnya runtuh. Orang-orang diminta berdiam diri di rumah, mencegah munculnya kerumunan massa agar penyebaran virus dapat dikendalikan, tak terkecuali mereka yang terbiasa menyalurkan hasrat di ranjang berbayar. Pelanggan tak lagi datang, otomatis berimbas pada hilangnya pendapatan Roni.
“Bisa dalam beberapa malam itu enggak dapet sama sekali,” ujar lelaki 40-an tahun ini.
Roni tidak punya banyak pilihan. Agar dapur rumahnya tetap mengepul, dia menjadi sopir ojek di siang hari, kendati, menurutnya, “pemasukannya juga enggak seberapa.”
Sektor ekonomi informal salah satu yang terpukul paling telak kebijakan swakarantina untuk mencegah penularan Covid-19. Kendati sering diabaikan ekonom, prostitusi termasuk sektor informal dengan perputaran uang besar, dan ikut terhantam resesi akibat pandemi, sehingga pelakunya nyaris semua limbung. Di masa normal, bisnis prositusi di Tanah Air pernah ditaksir bernilai hingga Rp5,5 triliun per bulan.
Masalahnya, “musuh” pekerja seks kali ini bukan ormas, Satpol PP atau aparat hukum, melainkan virus yang menular tanpa pandang profesi. “Gua, tuh, kadang parno sendiri ngelihat berita [soal Covid-19]. Ini kayak ngelawan musuh yang enggak kelihatan gitu, lho. Jadinya, kan, serba takut.”
Kata-kata di atas meluncur dari mulut Susan*, pekerja seks yang kami temui di depan Halte Trans Jakarta Sawah Besar, Jakarta Pusat. Pembawaan Susan ramah, energik, dan seringkali mengeluarkan banyolan-banyolan yang membuat siapapun sekonyong-konyong ikut tertawa. Dia masih belum sepenuhnya kehilangan harapan di tengah pandemi. “Pokoknya gua harus kelihatan cantik, ya, meski muka ketutup [waktu difoto],” katanya dengan nada becanda.
Susan tiba di Jakarta dari Sumatera Barat sekira 2010. Mulanya, dia bekerja di bisnis karaoke. Ketika tempat bekerjanya bangkrut, Susan memutuskan banting setir jadi pekerja seks. Pertimbangannya didasarkan pada hitungan fulus jasa lendir yang besar. Terlebih, Susan sudah cukup paham dengan lahan baru yang dia geluti, berkat jejaring dari dunia karaoke.
Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar bagi Susan dalam menjalani profesi ini. Petualangannya di bisnis prostitusi kerap berujung kegetiran. Baku hantam dengan sesama pekerja seks, berkali-kali ditangkap petugas Dinas Sosial DKI, diancam begal, hingga jadi korban kekerasan oleh pelanggan yang brengsek, adalah beberapa contoh peristiwa buruk yang rutin dia hadapi.
Nyatanya wabah Covid-19 diakui Susan sebagai yang tersulit, bahkan melebihi pengalaman buruk lain yang pernah menimpanya. “Biasanya semalam bisa dapat satu atau dua [pelanggan]. Tapi, akhir-akhir ini sampai enggak ada [pelanggan] sama sekali,” kata perempuan 40 tahun tersebut.
Sepinya pelanggan menguras isi dompetnya, mengingat di saat bersamaan dia tetap harus membayar kos, utang, hingga mencukupi urusan perut sehari-hari. Susan sampai menjual perhiasan pribadinya demi bertahan hidup.
“Barang-barang gua udah dijual semua. Cincin sama kalung. Itu juga cuma bisa buat [bertahan] beberapa hari aja. Selanjutnya, ya, enggak punya duit lagi,” tutur anak terakhir dari tujuh bersaudara ini. Opsi berdagang baju via media sosial sempat diambil Susan. Namun, hasilnya tak memuaskan, karena pakaiannya jarang laku.
Salah satu saudaranya, yang tinggal di Tangerang, pernah menawarinya tinggal bersama. Tapi, Susan dengan halus menolak. Susan tak ingin merepotkan keluarga mereka. Belum lagi dirinya tinggal di zona merah wabah, sehingga potensinya membawa virus terbuka lebar.
Jalan tunggal yang Susan pilih adalah bekerja seperti biasanya. Susan percaya, di tengah situasi sekarang, “pasti ada satu-dua orang yang sange.” Agar kerjanya lancar, Susan sudah membikin peraturan khusus untuk calon pelanggan.
“Pokoknya sebelum ‘main’, mereka mesti mandi dulu. Gua enggak mau ambil risiko. Terus, gua udah sediain hand sanitizer supaya tangannya tetep bersih. Sama satu lagi, kalau ada [pelanggan] yang bengek [susah napas], gua enggak mau terima. Takutlah,” papar Susan.
Sekali bekerja, Susan memasang tarif Rp500 ribu. Jumlah tersebut tidak seluruhnya dia bawa pulang. Sekitar Rp200 ribu dia bagi ke germo dan keperluan hotel. Total, Susan hanya mendapat Rp300 ribu per satu pelanggan. Dalam keadaan normal, angka itu tergolong cukup, setidaknya untuk Susan. Jika seminggu memperoleh, katakanlah, tujuh pelanggan saja, Susan mampu hidup tenang. Kebutuhannya tercukupi dan dia tak perlu pontang-panting cari pinjaman ke sana-sini. Masalahnya semua logika masa normal tak lagi berlaku sekarang.
Kondisi serupa turut dialami teman-teman Susan lainnya, terutama mereka yang berada di showroom, merujuk pada tempat berkumpulnya pekerja seks di luar jalanan, di bawah pengawasan langsung seorang germo. Susan bukan termasuk pekerja seks showroom. Dia mencari pelanggan di jalanan.
Mereka yang berada di showroom, biasanya, adalah pekerja seks berusia muda. Sekali bekerja, kata Susan, mereka mematok harga sekitar Rp400 ribu. Angka itu lagi-lagi bukan pendapatan bersih yang diterima anak showroom. Setelah dibagi ke berbagai pihak, seperti germo dan hotel, mereka cuma memperoleh jatah Rp150 ribu.
“Jadi kasihan banget. Kondisi gua sedikit lebih beruntung karena istilahnya gua kerja sendiri. Coba bayangin mereka [yang ada di showroom]. Udah dapetnya [uang] kecil, ditambah kondisi sekarang lagi kayak gini,” jelas Susan, seraya mengisap batang rokoknya yang sudah mulai habis.
Nasib miris menimpa pekerja seks di berbagai negara. Pandemi membuat bisnis syahwat nyaris kolaps, karena sifatnya yang mengutamakan kontak tubuh. Para pekerja di dalamnya lantas dipaksa menghentikan operasionalnya, meninggalkan lubang ketidakpastian akan masa depan.
Di India, pandemi membikin ribuan pekerja seks menganggur. Sementara di Jerman, yang kegiatan prostitusinya dilegalkan pemerintah, rumah bordil tak luput kena dampak dari adanya pandemi. Hal serupa bisa kamu jumpai pula di Amerika, Jepang, sampai Belanda.
Langkah alternatif bukannya tak ada. Beberapa pekerja seks memutuskan untuk pindah ke ranah daring. Di Amerika, keputusan ini cukup dianggap realistis. Banyak dari mereka yang beralih ke situs-situs macam OnlyFans dan ManyVids agar tetap memperoleh pendapatan. Akan tetapi, jalan ke sana tak serta merta mulus. Membangun basis massa secara online perlu waktu tak sebentar. Belum lagi soal respons pasar yang cenderung tengah jenuh.
Sedangkan di Indonesia, pekerja seks yang bergerak di ruang online bakal mendapati rintangan berupa jeratan pasal yang termaktub dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ujung-ujungnya, mereka bisa dibui. “Jadinya, kan, takut. Mau cari duit di situ [online], tapi malah ditangkep dan dipenjara,” tegas Susan.
Pandemi membuat hidup banyak orang berantakan. Mereka terpaksa kehilangan pekerjaan sekaligus pendapatan dan bersiap menyambut hari esok dengan ketidakpastian. Demi mengatasi masalah tersebut, pemerintah mengeluarkan jaring pengaman sosial (social safety net) supaya mereka yang kurang beruntung ini mampu bertahan hidup.
Wujud jaring pengaman sosial itu dapat dilihat manakala pemerintah menyalurkan sembako, Bantuan Langsung Tunai (BLT), sampai kartu prakerja kepada masyarakat yang terdampak dan rentan. Dengan uluran tangan yang ada, pemerintah ingin memastikan hidup masyarakat rentan bisa terjamin di tengah pandemi yang tak jelas kapan berakhirnya ini.
Akan tetapi, bantuan tersebut tidak menyentuh pekerja seks. Susan mengatakan sampai sekarang dia—dan teman-teman satu profesinya—belum menerima sama sekali bantuan apapun dari pemerintah. “Gua denger berita itu, tapi belum dapet juga,” ungkapnya.
Susan tidak sendirian. Para pekerja seks lainnya, Lia mengalami pula hal serupa. Menurut keterangannya, kondisi ini bisa muncul karena sistem pembagian bantuan sosial didasarkan pada faktor domisili.
“Bansos itu, kan, mekanismenya lewat Rukun Tetangga [RT]. Di DKI, mereka yang dapat bansos adalah orang-orang yang punya KTP DKI. Sementara temen-temen kami itu kebanyakan pendatang,” jelas Lia.
Sepenuturan Lia, pandemi dapat dibilang berandil dalam membuat hidup para pekerja seks makin susah. Dia tak heran bila pada akhirnya banyak dari mereka menjual barang berharga yang dimiliki agar mampu bertahan hidup. Namun, Lia menegaskan bahwa aksi gadai itu bersifat jangka pendek dan tak bisa menjamin nasib mereka di waktu mendatang.
Dia mendorong pemerintah untuk lebih peka lagi terhadap eksistensi pekerja seks. Dalam situasi seperti saat ini, mereka berhak menjadi kelompok yang menerima bantuan sosial. Menurutnya, agar para pekerja seks punya kesempatan hidup yang layak, pandangan negatif terhadap profesi mereka harus lebih dulu disingkirkan. Setelah itu, pemerintah mesti membuka akses selebar mungkin untuk para pekerja seks yang ingin mengasah keterampilan diri.
Karena kalau kita memegang teguh amanat konstitusi, semua warga negara itu punya kedudukan yang sama. Kita manusia yang setara
Sumber: Vice Indonesia
Discussion about this post