Pranala.co, BONTANG – Pemerintah Kota (Pemkot) Bontang menggelar pertemuan besar dengan perwakilan 100 perusahaan, di Auditorium 3 Dimensi, Senin pagi (17/11/2025). Isinya: menegakkan keberpihakan pada tenaga kerja lokal.
Wali Kota Bontang, Neni Moerniaeni datang membawa suara masyarakat. Terutama suara para pencari kerja yang merasa tersisih di tanah kelahiran sendiri. Di sampingnya, Wakil Wali Kota Agus Haris mengangguk, menyimak, sekaligus bersiap menegaskan kembali pesan sama.
Pertemuan itu dikemas sebagai Sosialisasi Perda Nomor 10 Tahun 2018 tentang Rekrutmen dan Penempatan Tenaga Kerja. Namun suasananya jauh dari sekadar sosialiasi. Di hadapan puluhan pimpinan perusahaan, Wali Kota Neni melontarkan kalimat yang mudah dipahami dan sulit dibantah.
“Masih ditemukan praktik tidak adil dalam seleksi. Ada keluhan seleksi K3 yang terlalu sulit, hingga warga yang merasa tidak mendapat peluang layak,” ujarnya lirih, namun tegas.
Keluhan demi keluhan itulah yang mendorong perubahan. Neni meminta sistem diperbaiki. Ia mendorong rotasi bagi pekerja Tenaga Harian (TA) agar kesempatan merata. Ia juga menekankan kewajiban perusahaan memprioritaskan warga miskin dalam program PKP.
Dan hari itu, ia mengeluarkan satu keputusan besar: Mulai 2026, semua perusahaan di Bontang wajib memprioritaskan pekerja lokal.
“Rekrutmen tenaga kerja harus transparan dan adil. Kita ingin memastikan manfaat pembangunan benar-benar dirasakan masyarakat,” tegasnya lagi.
Wakil Wali Kota Agus Haris menambahkan gambaran yang lebih teknis, namun tak kalah penting. Dari 135 perusahaan di Bontang, hanya 18 yang melaporkan kebutuhan tenaga kerja untuk tahun 2025. Jumlah itu terlalu kecil untuk memetakan kebutuhan industri maupun mengurai persoalan pengangguran.
Ia mengingatkan bahwa Bontang punya visi besar: Zero Pengangguran pada 2029. Visi itu tidak mungkin tercapai bila perusahaan berjalan sendiri-sendiri.
Karena itu, ia menuntut semua data kebutuhan tenaga kerja disalurkan melalui satu pintu pemerintah. Bukan sekadar formalitas, tetapi sebagai dasar merancang kebijakan penyerapan tenaga kerja yang lebih terukur.
“Data pengangguran sering disalahartikan karena jumlah penduduk kita kecil. Namun tantangan kemiskinan itu nyata. Kolaborasi pemerintah dan perusahaan adalah kunci keberhasilan program ini,” ujar Agus Haris.
Pertemuan ini akhirnya menjadi lebih dari sekadar penjelasan regulasi. Ia berubah menjadi ultimatum halus sekaligus ajakan tulus agar industri yang tumbuh subur di Bontang tidak hanya menyumbang angka investasi. Tetapi juga memberikan kehidupan yang layak bagi warga yang menjaga, mengelola, dan mendukung keberlangsungan kota ini.
Pemkot Bontang berharap, mulai 2026, tidak ada lagi cerita anak Bontang yang gagal bekerja di kampungnya sendiri. Hanya karena sistem yang tidak berpihak. Semangat itu kini resmi diserahkan ke tangan perusahaan untuk dibuktikan. (*)
Dapatkan berita terbaru PRANALA.co di Google News dan bergabung di grup Whatsapp kami










