HARGA cabai di Kota Bontang, Kalimatan Timur kembali melambung sepekan terakhir. Cuaca ekstrem dan bencana banjir di sejumlah daerah sentra produksi mengakibatkan gagal panen. Dampaknya, stok di pasar menipis. Sebelumnya hanya ribu 80 ribu, kini bisa tembus Rp 100 ribu hingga Rp 120 ribu, tergantung kualitasnya.
“Naik sejak seminggu ini Mas. Biasanya bisa Rp85 ribu per kilogram. Sekarang bisa Rp120 ribu,” kata Dedy Rahmawan, salah satu pedagang sayuran di Pasar Taman Rawa Indah, Bontang, Kamis [4/3] petang.
Kata Dedy, kenaikan harga ini dipicu jumlah pasokan terbatas. Lantaran daerah penghasil mengalami gagal panen akibat diterjang banjir. Tingginya curah hujan pada tahun ini bahkan mengakibatkan hampir 80 persen sentra sayur Pulau Jawa, gagal panen. Tingginya curah hujan juga membuat masa panen terhambat.
“Pemasokan dari Samarinda kurang. Hanya cukup untuk wilayah mereka saja. Akibatnya pendistribusian ke daerah lain seperti Bontang sedikit,” katanya.
Selain itu, kadar air yang tinggi juga membuat cabai yang dipanen cepat membusuk. Kegagalan panen yang cukup besar tersebut, kata Dedy, membuat pasokan sejumlah komoditas pangan semakin terbatas di pasaran.
Hal itu, menurutnya berdampak pada melonjaknya harga cabai. Harga komoditas sayur lainnya seperti kangkung, kemangi, sawi, kacang panjang, dan terong ungu juga naik.
Saat ini, produksi cabai yang beredar di pedagang hasil dari petani lokal. Besarnya pun kecil, hanya berkisaran tiga karung atau setara 75-150 kilogram per hari.
Sementara, Sekretaris Umum DPP Serikat Petani Indonesia (SPI), Agus Ruli Ardiansyah bilang, persoalan lainnya yang juga berkontribusi terhadap kegagalan panen adalah faktor bencana alam. Agus menerangkan, bencana banjir yang terjadi sejak Januari lalu di Kalimantan Selatan, mengakibatkan terjadinya kerusakan lahan pada area produktif tanam.
Sejumlah kawasan pertanian pun terpantau masih terkena bencana banjir yang masih belum mereda. Sehingga tidak sedikit juga para petani yang terpaksa mengalami gagal panen.
Pernyataan serupa juga disampaikan Ketua Umum Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI) Abdul Hamid. Abdul menegaskan, tingginya harga cabai di pasaran bukan disebabkan proses distribusi yang terhambat, melainkan karena pasokan cabai yang terbatas akibat tingginya curah hujan.
Selain itu, mundurnya waktu penanaman cabai di kalangan petani akibat badai La Nina yang terjadi pada akhir tahun lalu juga berkontribusi terhadap menyusutnya stok di pasaran.
“Bukan karena kendala distribusi, tapi memang karena curah hujan yang tinggi. Karena curah hujan itu membuat penanaman cabai semakin sulit serta membuat kelembaban tanah lebih tinggi,” katanya.
Di sisi lain, selain pasokan terbatas, kenaikan harga cabai juga dipengaruhi banyaknya petani yang enggan menanam varietas cabai karena keterbatasan modal. Pada awal pandemi Covid-19, menurut Abdul banyak petani yang merugi karena lemahnya permintaan masyarakat sehingga harga cabai turun.
Akibatnya, petani yang tetap menanam cabai tinggal 20-30 persen dari jumlah normal. Kendati demikian, Abdul mewanti-wanti pemerintah supaya tidak membuka keran impor bagi komoditas ini hanya untuk menyiasati harga yang tengah naik. [JN|LO]
Discussion about this post