PRANALA.CO – Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur telah diputuskan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai salah satu lokasi Ibu kota baru. Kabupaten ini sendiri punya bahasa asli suku Paser. Namun kabarnya, bahasa ini terancam punah.
Kabar terkait ancaman kepunahan bahasa Paser ini disampaikan Paidah Riansyah, sejarawan suku Paser, yang juga Ketua Laskar Pertahanan Adat Suku Paser. Dia menyebut bahasa Paser ini hampir punah, seperti halnya bahasa dayak Benoa.
“Menurut penelitian kemarin, bahasa Paser dan bahasa Dayak Benoa yang hampir punah. Karena jarang kan digunakan anak-anak,” kata Paidah.
Dia mengatakan bahwa penggunaan Bahasa Paser ini memang jarang sekali digunakan di Penajam Paser Utara yang masih tergolong kawasan kota. Namun, penggunaannya di daerah pedalaman masih kerap digunakan.
“Kalau di daerah yang ramai ini (kawasan kota) jarang. Kalau daerah pedalaman masih digunakan,” tuturnya.
Selain itu, kata dia, umumnya anak-anak Suku Paser memang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari. Biasanya, mereka baru bisa berbahasa Paser ketika beranjak dewasa karena baru mempelajarinya.
Paidah juga memberikan contoh ujaran bahasa Paser kepada kami seperti ‘isik kabar?’ yang artinya ‘apa kabar?’ dan ‘guen’ yang artinya ‘baik’. Karena terancam punah, Paidah mengatakan bahwa bahasa Paser Pemkab PPU sudah menyetujui bahasa Paser untuk masuk mulok kurikulum sekolah.
Kah’ di Ujung Kalimat
Bahasa Paser terancam punah. Rumpun-rumpun bahasa dari beragam suku di PPU bercampur aduk jadi satu. Namun, ada satu ujaran dari salah satu rumpun bahasa yang telah menyerap dalam percakapan tiap orang di PPU.
Bahasa itu adalah bahasa Banjar, untuk ujaran ‘kah’. Dalam buku berjudul ‘Kesantunan berbahasa pada masyarakat Banjar’ karya Rissari Yayuk, dijelaskan bahwa kata ‘kah’ seperti kata penegasan kalimat tanya. Kah adalah kata komplementer.
Hampir tiap orang yang kami temui di PPU selalu menambahkan kata ‘kah’ dalam setiap percakapannya. Tak peduli apa pun logat bahasa mereka.
Eksistensi Bahasa Paser
Jika ingin mengukur apakah sebuah bahasa itu dianggap punah atau tidak, UNESCO menetapkan sembilan indikator. Yakni, transmisi bahasa antargenerasi, jumlah penutur absolut, proporsi penutur dengan jumlah penduduk keseluruhan, kecenderungan dalam ranah penggunaan bahasa.
Selain itu, daya tanggap terhadap ranah baru dan media, materi untuk pendidikan bahasa dan keberaksaraan, kebijakan bahasa oleh pemerintah dan institusi–termasuk status resmi dan penggunaanya, sikap masyarakat penutur terhadap bahasa mereka dan jumlah dan kualitas dokumentasi bahasa.
Sementara itu, Kementerian Pendidikan dan Budaya (Kemendikbud) punya ukuran tersendiri untuk mengukur eksistensi sebuah bahasa daerah. Yakni dengan menggunakan parameter yang disebut dengan dialektometri. Status eksistensi bahasa Paser sendiri bisa dilihat di data pokok kebahasaan dan kesastraan yang ada di laman resmi Kemendikbud.
Berdasarkan penghitungan dialektometri, isolek Pasir (Paser) merupakan sebuah bahasa dengan persentase perbedaan berkisar 81-100 persen jika dibandingkan dengan bahasa-bahasa lainnya yang ada di Provinsi Kalimantan Timur, misalnya dengan bahasa Basap, bahasa Benuaq, bahasa Bulungan, bahasa Punan Merah, bahasa Dusun, dan bahasa Long Lamcin.
Dalam data tersebut, bahasa Paser disebut merupakan termasuk salah satu bahasa yang memiliki jumlah penutur yang cukup besar di Kalimantan Timur. Kelestarian bahasa ini masuk kategori aman, meskipun statusnya masih belum terkonservasi.
Namun, tentu saja, di tengah meresapnya berbagai rumpun bahasa dalam percakapan orang-orang PPU, bahasa Paser mestinya tetap harus hidup. Seperti halnya bahasa Betawi yang tetap hidup di Jakarta, Ibu kota kita saat ini. Jadi, bagaimanakah nasib bahasa Paser ketika Ibu kota dipindahkan ke PPU?
[5dk]
Discussion about this post