pranala.co – Defisit anggaran tahun ini diperkirakan melebar ke lima persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), akibat penyebaran wabah virus korona. Guna menambal defisit APBN, pemerintah mencari berbagai sumber pembiayaan, salah satunya melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan Indonesia berhasil menerbitkan surat utang dengan denominasi dolar saat pandemi covid-19 atau virus corona mewabah. Ada 3 jenis surat utang yang diterbitkan dengan tenor terpanjang mencapai 50 tahun. Adapun nilainya mencapai US$ 4,3 miliar atau Rp 68,6 triliun (kurs Rp 16.000).
“Ini adalah penerbitan terbesar dalam US bond dalam sejarah RI. Dan Indonesia juga jadi negara pertama yang menerbitkan sovereign bond sejak pandemic covid-19 terjadi,” kata Sri Mulyani, Selasa (7/4/2020).
Penerbitan tenor 50 tahun ini, sambung Sri Mulyani menjadi yang pertama kali juga di Indonesia dengan tenor terpanjang. Menurut Sri Mulyani cukup baik. Ini menunjukkan kepercayaan investor dari pengelolaan keuangan negara. RI memanfaatkan 50 tahun dari preferensi tenor bond jangka panjang cukup kuat.
Ketiga global bond berdenominasi dolar AS ini terbagi dalam tiga tenor yang berbeda. Pertama, Global Bond USD bertenor 10,5 tahun dengan total US$ 1,65 miliar, dan oversubscribed 2 kali atau US$ 3,53 miliar. Surat utang ini jatuh tempo 15 Oktober 2030, dan memiliki kupon 3,85% yang dibayarkan dua kali dalam setahun (semi annually).
Kedua, Global Bond USD bertenor 30,5 tahun dengan total US$ 1,65 miliar yang oversubscribed hingga US$ 3,33 miliar dan jatuh tempo pada 15 Oktober 2050. Surat utang ini memiliki kupon 4,25% yang dibayarkan dua kali dalam setahun.
Ketiga, Global Bond USD bertenor 50 tahun dengan nilai penerbitan US$ 1 miliar, dan oversubscribed 2,5 kali atau YS$ 2,59 miliar. Surat utang ini jatuh tempo 15 April 2070, dengan kupon yang ditawarkan 4,45% yang dibayarkan dua kali dalam setahun.
Global Bond RI ini akan listing di Singapore Exchange dan Frankfurt Stock Exchange, dengan rating Baa2 dari Moody’s, BBB dari S&P, dan BBB dari Fitch. Sementara untuk Joint Lead Manager (JLM) Citigroup Global Market lnc, Deutsche Bank, Goldman Sachs, Standard Chartered Bank, The Hongkong and Shanghai Banking Corporation Limited, serta Co-manager Danareksa Sekuritas dan Trimegah Sekuritas.
Ekonom sekaligus Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah menilai langkah pemerintah patut diapresiasi. Menurutnya, penerbitan global bonda tersebut harus dilihat sebagai bagian dari kebijakan untuk mengeluarkan stimulus fiskal senilai Rp 405 triliun.
“Kalau kita mendukung kebijakan stimulus tersebut maka seharusnya penerbitan global bonds tidak harus menjadi kontroversi,” ujarnya kepada JawaPos, Rabu (8/4).
Piter menyebut, stimulus besar yang dicanangkan pemerintah ditujukan untuk mempercepat penanganan wabah covid-19, membantu masyarakat terdampak, dan mempersiapkan recovery ekonomi. Stimulus ini, lanjut Piter, memang sangat dibutuhkan.
Namun, di sisi lain, fiskal pemerintah tidak cukup untuk menyediakan itu semua. “Sehingga defisit APBN melebar hingga 5,07 persen dan harus dibiayai dengan menerbitkan surat utang baru termasuk SUN global tersebut,” jelasnya.
Piter menjabarkan, pihaknya mendukung hal itu. Akan tetapi, terdapat beberapa hal yang bisa dikritisi dari penerbitan global bonds tenor terpanjang sepanjang sejarah tersebut.
Pertama, pemerintah seharusnya mendahulukan penerbitan surat utang dalam negeri berdenominasi Rupiah dengan mengutamakan skema pembelian oleh BI. Pertimbangannya, sentimen pasar sekarang masih sangat negatif akibat ketidakpastian di tengah wabah Covid-19.
“Penerbitan global bonds di tengah sentimen pasar yang negatif, permintaan yang sangat rendah, mendorong pemerintah meningkatkan iming-iming return, yaitu kupon dan tenor yang sangat panjang (50 tahun). Ini ibaratnya kita terpaksa obral SUN karena terdesak butuh uang,” tuturnya.
Kedua, lanjutnya, penerbitan global bonds memang dibutuhkan karena kekurangan dolar. Dengan penerbitan global bonds, cadangan devisa yang dipergunakan BI untuk intervensi dalam rangka stabilisasi rupiah bisa diganti.
“Tapi kita tidak terlalu terburu-buru membutuhkan tambahan dolar. Cadev Kita masih cukup besar, USD 120 miliar. Apalagi BI juga memiliki second line of defense yg juga lumayan besar,” katanya.
BI juga telah bekerja sama dengan The Fed, di mana bank sentral Amerika Serikat tersebut fasilitas repo line senilai USD 60 miliar dolar. “Artinya sekali lagi kita tidak mendesak membutuhkan dolar sekarang ini,” ucapnya.
Terakhir, menurut Piter, penerbitan global bonds dapat dilakukan ketika wabah sudah mereda dan sentimen pasar mulai pulih. Di tengah kebijakan moneter global yang cenderung menurunkan suku bunga, maka penerbitan global bonds bisa mendapatkan harga yang lebih rendah dengan tenor yang normal. (nz)
Discussion about this post