PRANALA.CO, Bontang – Kata “OK” atau dalam ejaan baku bahasa Indonesia “Oke”, mungkin menjadi salah satu ungkapan paling universal di dunia. Meski terkesan sederhana dan sering digunakan dalam komunikasi sehari-hari, baik secara lisan maupun tulisan, siapa sangka kata ini menyimpan sejarah panjang yang menarik.
Tak hanya sebagai bentuk persetujuan, “OK” kini digunakan dalam berbagai konteks: dari mengiyakan perintah, memastikan kebenaran, hingga mengekspresikan kondisi yang baik-baik saja.
Penggunaannya pun meluas, bukan hanya di dunia berbahasa Inggris, namun juga masuk ke berbagai bahasa di dunia, termasuk bahasa Indonesia.
Namun, tahukah Anda bahwa kata “OK” ternyata berasal dari tren singkatan yang populer di Amerika Serikat pada abad ke-19?
Penelusuran terhadap kata “OK” dilakukan ahli bahasa Allen Walker Read pada 1963. Dalam studinya berjudul The First Stage in the History of “O.K”, Read mengungkap bahwa kata ini pertama kali dipublikasikan dalam surat kabar Boston Post pada 23 Maret 1839.
Redaktur surat kabar tersebut, Charles Gordon Greene, memperkenalkan “OK” sebagai singkatan dari “oll korrect”, sebuah plesetan dari “all correct”, dalam tren humor linguistik yang saat itu sedang berkembang di kalangan masyarakat urban Amerika.
Singkatan dan ejaan yang tidak biasa seperti “OK”, “RTBS” (Remains to be Seen), atau “NG” (No Go) menjadi populer kala itu, sebagai bagian dari gaya bahasa yang dinamis dan penuh permainan kata.
Seiring waktu, “OK” melampaui batas budaya dan bahasa. Read menyebut kesederhanaan dan kepraktisan dalam pengucapan menjadi alasan utama mengapa “OK” begitu cepat diterima oleh masyarakat dunia.
Di era digital dan komunikasi instan saat ini, kata “OK” kian merajalela. Dari pesan singkat, notifikasi perangkat lunak, hingga interaksi di media sosial—semuanya menjadikan “OK” sebagai respons default yang netral dan efisien.
Meski demikian, konteks penggunaan “OK” bisa bermakna ganda. Dalam komunikasi tertulis, misalnya, kata ini bisa mengekspresikan persetujuan tulus atau justru sindiran halus, tergantung nada dan situasinya.
Di Indonesia, kata ini telah lama diadopsi dan bahkan masuk ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dengan ejaan “oke”. Artinya tetap sama: kata untuk menyatakan setuju atau penerimaan.
Penggunaan “oke” dalam bahasa Indonesia menjadi bukti bahwa kata serapan bisa bertahan dan bertransformasi menjadi bagian dari budaya tutur lokal, tanpa menghilangkan makna globalnya.
Kata “OK” bukan hanya sekadar singkatan. Ia adalah representasi dari bagaimana bahasa bisa berkembang, menyebar, dan meresap dalam kehidupan masyarakat lintas negara. Dari dapur redaksi abad ke-19 hingga layar ponsel masa kini, “OK” tetap relevan.
Mungkin karena pada akhirnya, dalam komunikasi modern yang serba cepat, tak ada yang lebih “oke” selain kata “OK” itu sendiri. (*)
Dapatkan berita terbaru PRANALA.co di Google News dan bergabung di grup Whatsapp kami
Discussion about this post