Jika dilihat sekilas, buah kemayau sendiri memang hampir mirip dan menyerupai anggur, berbentuk lonjong dengan panjang sekitar 5-6 cm, dan lebar sekitar 1-2 cm. Saat masih muda, buah kemayau berwarna hijau namun berubah menjadi ungu agak kehitaman saat sudah tua dan matang.
SEBAGAI kawasan hutan yang sejak lama telah dikenal menjadi rumah dari ragam flora atau tumbuhan unik yang ada di Indonesia, tak heran jika Kalimantan memiliki jutaan tumbuhan endemik yang keberadaannya juga menyertakan ragam buah unik nan langka.
Hingga saat ini, mungkin sudah ada cukup banyak orang yang sempat mendengar atau bahkan mencicipi langsung ragam jenis buah unik yang dimaksud, meski tidak terlalu umum. Beberapa di antaranya sebut saja buah asam putar, bangkinang, kasturi, karatongan, ramania, dan masih banyak lagi.
Dari sederet nama di atas, masih ada satu jenis buah tak kalah unik yang jika dicermati dari cara menikmatinya ternyata berbeda dibanding buah lain, yakni kemayau.
Memiliki nama latin Dacryodes rostrata forma cuspidate, buah dari pohon yang sudah masuk kategori sulit untuk ditemukan di Kalimantan ini menjadi salah satu jenis pohon yang terdampak dari maraknya aktivitas pembalakan yang terjadi.
Sama halnya seperti buah lain yang tersebar di beberapa wilayah Borneo, kemayau sebenarnya memiliki beberapa nama berbeda. Di wilayah Kabupaten Paser, buah satu ini lebih umum dikenal dengan nama keram, beberapa daerah lain ada juga yang lebih mengenal buah ini dengan nama kumbayau dan bulam.
Jika dilihat sekilas, buah kemayau sendiri memang hampir mirip dan menyerupai anggur, berbentuk lonjong dengan panjang sekitar 5-6 cm, dan lebar sekitar 1-2 cm. Saat masih muda, buah kemayau berwarna hijau namun berubah menjadi ungu agak kehitaman saat sudah tua dan matang.
Sedangkan untuk pohonnya sendiri, pohon kemayau memiliki tinggi yang beragam karena dapat tumbuh hingga kisaran 17-30 meter, dengan diameter 1 meter. Memiliki batang berwarna putih keabuan dengan tekstur yang licin, biasanya warga setempat mengambil buah kemayau dengan cara memanjat langsung.
Namun untuk pohon dengan ukuran lebih tinggi, biasanya warga memasang tangga berupa “pansek” atau pasak yang ditancapakan pada bagian batang pohon.
Pada habitatnya, pohon kemayau biasa ditemui di daerah tanah pegunungan atau dataran rendah yang tak terlalu basah. Namun selain di alam liar atau hutan, pohon kemayau juga tak jarang ditanam di tanah kebun milik warga, terutama kebun-kebun yang memang diperuntukkan untuk menanam berbagai jenis buah-buahan.
Bicara soal musim berbuah, Februari-Maret jadi saat buah kemayau dapat dipanen. Tak hanya dikonsumsi oleh manusia, buah ini juga menjadi sumber makanan penting bagi berbagai jenis hewan seperti burung pergam, primata, dan mamalia pengerat.
Harus direndam air panas tapi tidak dimasak
Hal menarik dari buah kemayau adalah mengenai cara menikmatinya, berbeda dengan buah lain yang bisa langsung dinikmati begitu dipetik dari pohon. Kemayau harus terlebih dulu direndam dalam air panas selama 2-3 menit agar dagingnya lembut, baru kemudian dikupas dan dipisahkan dari bijinya.
Tidak berhenti di situ, cita rasa berbeda juga akan didapat jika waktu menikmati buah ini berbeda dari saat direndam dengan air panas. Jika kulit buah kemayau segera dibuka setelah direndam air panas, daging buahnya akan berwarna kuning terang kadang merah keungunan dan lunak.
Mengenai cita rasa, beberapa orang ada yang berpendapat bahwa rasanya mirip dengan buah alpukat namun lebih berlemak, ada juga yang menilai bahwa rasanya seperti ubi jalar, gurih, dan berlemak seperti mentega.
Sejumlah warga asli terkadang menikmati kemayau yang sudah lunak dengan mencampurnya bersama madu asli dan gula merah. Di sisi lain, jika mengupas dan mengonsumsi buah ini beberapa saat setelah direndam air panas, daging buahnya justru akan berwarna keabuan dan terasa asam.
Karena ada beberapa orang yang belum mengetahui dengan jelas cara menikmati kemayau, tak jarang ada yang merebusnya dengan waktu cukup lama. Padahal, cara tersebut justru akan membuat daging buahnya semakin keras.
Saat ini keberadaan pohon dan buah kemayau memang dapat dikatakan jarang ditemui, mengenai populasi atau sebarannya sendiri tidak ada penelitian terbaru yang mencermati eksistensi pohon ini.
Pendataan terakhir yang dilakukan IUCN pada tahun 1998 memang menempatkan pohon ini pada status least concern. Namun warga asli Paser mengungkap jika pohon kemayau banyak hilang karena disebabkan oleh penebangan untuk membuka lahan kelapa sawit, serta cara memanen buah yang salah dengan menebang pohon atau menghabiskan dahannya.
Meski begitu, saat ini terdapat beberapa warga yang diketahui melestarikan pohon kemayau di perkebunan pribadi untuk mencegah sekaligus menghambat punahnya berbagai jenis hewan yang menjadikan buah ini sebagai makanan utama. (*)
Discussion about this post