TIGA aktivis hak asasi manusia di Kalimantan Timur dijemput aparat yang mengaku menjalankan penanganan perebakan virus corona. Namun Komnas HAM mengisyaratkan adanya kepentingan lain di luar soal kesehatan dalam penjemputan itu.
Komnas HAM menemukan indikasi adanya kepentingan di luar kesehatan dalam penjemputan tiga aktivis di Samarinda, Kalimantan Timur oleh petugas yang mengaku menjalankan penanganan COVID-19 pada Jumat (31/7) lalu. Ketiganya adalah Direktur Walhi Kalimantan Timur Yohana Tiko dan dua advokat LBH Samarinda Bernard Marbun dan Fathul Huda.
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan indikasi tersebut antara lain dugaan pelanggaran protokol kesehatan dan pemaksaan proses penjemputan karena ketiga orang yang dijemput tidak memperoleh hasil tes swab corona.
“Penanganan COVID-19 yang secara nyata memang dibutuhkan secara baik, tidak boleh penanganan dilakukan untuk kepentingan di luar kesehatan dan harus dilakukan dengan protokol kesehatan yang ketat,” jelas Anam melalui keterangan tertulis, Ahad (2/8).
Anam menambahkan ketiga orang yang dijemput petugas ini memiliki latar belakang organisasi yang kritis dan terlibat dalam gerakan HAM di wilayah Kalimantan Timur. Ia akan mendorong penegakan hukum dan tindakan tegas dari Gugus Tugas Penanganan COVID-19 di tingkat nasional jika ditemukan penyalahgunaan kewenangan.
Kata dia, Komnas HAM akan mendalami dengan pemantauan dan penyelidikan. Dan jika ditemukan bukti-bukti adanya penyalahgunaan kewenangan dengan menggunakan instrumen penanganan COVID-19. “Kami akan teruskan kepada mekanisme penegakan hukum dan Gugus Tugas COVID-19 Nasional untuk mengambil tindakan tegas,” tambahnya.
Direktur Walhi Kalimantan Timur Yohana Tiko mengatakan salah satu kejanggalan penjemputan yaitu petugas tidak menggunakan alat pelindung diri yang standar seperti baju hazmat dan tidak menunjukkan identitas. Selain itu, petugas juga tidak memberikan hasil tes swab yang menunjukkan dirinya positif.
“Ini memang upaya kriminalisasi dan pembungkaman gaya baru dengan memanfaatkan COVID-19. Jadi selain dimanfaatkan untuk mengesahkan kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat, tapi ini juga menjadi ladang pembungkaman pejuang HAM di Indonesia,” jelas Yohana Tiko.
Tiko menambahkan lembaganya selama ini aktif mengadvokasi persoalan tumpahan minyak di Teluk Balikpapan, Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau pulau Kecil (RZWP3K Kaltim) dan omnibus law RUU Cipta Kerja. Ia menduga penjemputan tersebut karena advokasi yang dilakukan lembaganya bersama Pokja 30.
Jumat (31/7) lalu, tiga aktivis di Samarinda dijemput paksa oleh orang yang mengaku petugas penanganan COVID-19 dengan alasan positif corona. Mereka dibawa ke RSUD IA Moeis Samarinda setelah permintaan karantina mandiri ditolak orang yang mengaku petugas. Ini merupakan kelanjutan dari tes swab acak pada Rabu (29/7) yang diduga dilakukan Dinas Kesehatan Kota Samarinda.
Ketiga aktivis itu juga menolak dimasukkan dalam ruang isolasi karena petugas rumah sakit dan penjemput tidak bisa menunjukkan hasil swab. Mereka kemudian ditinggalkan petugas di parkiran rumah sakit tanpa ada penjelasan.
Menanggapi itu, Plt Kepala BPBD Samarinda, Hendra menjelaskan pihaknya hanya membantu mengevakuasi orang dan melakukan sterilisasi di lokasi penjemputan. Ia menyebut masalah teknis bukan masuk dalam ranah BPBD untuk memberi penjelasan.
“BPBD hanya membantu mengevakuasi dan kami bergerak atas perintah Dinas Kesehatan serta melakukan sterilisasi di lokasi penjemputan,” ujar Hendra, Ahad (2/8).
Plt Kepala Dinkes Samarinda dr Ismed Kusasih mengatakan belum bisa memberikan penjelasan terkait protes ketiga aktivis. Ia beralasan sedang tidak bekerja dalam waktu tiga hari terakhir. Sedangkan Kabid Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Samarinda Osa Rafshodia belum memberikan tanggapan hingga berita ini diturunkan. (*)
Discussion about this post