pranala.co – Sya’ban menjadi salah satu bulan yang paling diberkahi menjelang Ramadan. Umat Islam pun kerap menanti bulan ini bahkan sebelum Rajab tiba.
Mengenai penggantian puasa Ramadan dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan Anas RA, ia berkata, “Setiap bulan Rajab tiba, Rasulullah SAW selalu memanjatkan doa. ‘Allahumma barik lanaa fi rajaba wa sya’bana wa ballighna Ramadhan.‘ (Ya Allah berkati kami pada Rajab dan Sya’ban dan antarkan kami sampai Ramadhan).”
Beberapa kelompok umat Islam pun berpuasa untuk menghormati Sya’ban, bahkan pertengahannya. Namun, puasa tersebut tidak cuma dilakukan untuk penghormatan. Masih ada yang berpuasa untuk mengganti (qadha) kekalahan pada Ramadhan tahun lalu karena alasan lupa atau uzur yang lain.
Secara fikih, orang yang meninggalkan puasa Ramadan, sengaja atau tidak sengaja, dapat diganti dengan mengqadha. Namun, Rasulullah SAW memperingatkan bahwa tanpa uzur syar’i (yang dibolehkan agama), puasa Ramadhan yang ditinggalkan dengan sengaja oleh seorang Muslim, tidak dapat tergantikan walau dia berusaha meng gantinya dengan puasa qa dha sepanjang tahun.
Hal ini jelas ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya, “Barang siapa yang membatalkan puasa Ramadhannya tanpa uzur atau sakit, maka dia tidak bisa menggantinya walau dengan ber puasa sepanjang tahun.” (HR Abu Daud, al-Tirmizi, Ibn Majah, Ah mad, dan al-Darimi). Pesan Nabi SAW menunjukkan betapa besar keutamaan puasa Ramadhan.
Untuk membayarnya pun harus memenuhi syarat uzur syar’i, seperti dalam perjalanan, sakit be rat, hingga haid (bagi wanita). Menurut Syekh Abdul Azis bin Baz, seseorang yang belum mengqadha puasa Ramadhan sampai datangnya Ramadhan ta hun berikutnya maka ia berdosa. Kaidah ini berlaku jika ia tidak mengganti puasanya padahal ti dak ada alasan syar’i.
Jika utangnya tak dibayar lalu bertemu Ramadhan berikutnya, ia wajib bertobat dan memperba nyak istighfar. Meski begitu, ke wajibannya untuk mengganti pua sa Ramadhan tidak gugur. Ia tetap dibebankan mengganti pua sa Ramadhan sebanyak puasa yang ia tinggalkan.
Syekh Abdul Azis menambahkan, selain mengganti puasa, mereka yang belum mengqadha sampai Ramadhan berikutnya juga wajib memberi makan orang fakir. Jumlah makanan yang di bayarkan sebanyak setengah sha atau 1,5 kilogram makanan pokok. Jumlah orang miskin yang diberi makan sebanyak jumlah puasa yang ia tinggalkan.
Kewa jiban membayar puasa dan memberi makan orang miskin tidak terlepas hanya karena Muslimah tersebut tidak tahu. Hal ini berdasar dari hadis Aisyah RA, “Kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.” (HR Bukhari dan Muslim).
Jika termasuk golongan fakir miskin, ia berkewajiban memberi makan orang fakir miskin otomatis gugur. Ia hanya dibebankan membayar puasa sejumlah hari yang ia tinggalkan.
Syekh Abdul Azis bin Baz beralasan, kewajib an memberi makan orang miskin hanya dibe ban kan kepada mere ka yang mam pu. Allah SWT ber firman, “Ber takwalah kepada Allah se mam pu kalian.” (QS at-Taghabun [64]: 16)
Adapun terkait puasa setelah memasuki nisfu Sya’ban atau per tengahan Sya’ban, ulama berbeda pendapat. Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama menjelaskan, sebagian ulama mengharamkan puasa pada pertengahan Sya’ban hingga Ramadhan tiba. Mereka mendasarkan pada, antara lain, hadis riwayat Abu Dawud berikut ini, “Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, ‘Bila hari memasuki pertengahan Sya’ban, maka janganlah kalian berpuasa’.”
Sementara, ulama yang membolehkan puasa pada pertengahan bulan Sya’ban juga bersandar pada hadis riwayat Ummu Salamah dan Ibnu Umar RA yang ditahqiq oleh At-Thahawi. Perbedaan pendapat dan argumentasi masing-masing ulama ini diangkat oleh Ibnu Rusyd sebagai berikut:
Artinya, “Adapun mengenai puasa di paruh kedua bulan Sya’ban, para ulama berbeda pendapat. Sekelompok menyata kan, makruh. Sementara, sebagian lainnya, boleh. Mereka yang menyatakan ‘makruh’ mendasarkan pernyataannya pada hadis Rasulullah SAW, ‘Tidak ada puasa setelah pertengahan Sya’ban hingga masuk Ramadhan.’
Adapun ulama yang membolehkan berdasar pada hadis yang diriwayatkan Ummu Salamah RA dan Ibnu Umar RA. Menurut Salamah, ‘Aku belum pernah melihat Rasulullah SAW berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali puasa Sya’ban dan Ramadhan.’
Ibnu Umar RA menyatakan, Rasulullah SAW menyambung puasa Sya’ban dengan puasa Ramadhan. Hadis ini ditakhrij oleh at-Thahawi,” (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid fi Nihayatil Muqtashid, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 2013 M/1434 H], cetakan kelima, halaman 287).
Utang puasa memang harus segera dilunasi. Jika mengqadha puasa ditangguhkan hingga da tang Ramadhan berikutnya, sebagian ulama menilai, yang bersangkutan wajib membayar kafarat. Imam Malik, Imam Syafi’i, hingga Imam Ahmad cenderung pada pendapat ini.
Sebagian yang lain seperti Imam Hasan al-Bashri dan Ibrahim An-Nakha’i berpendapat jika dia hanya wajib mengqadha dan tidak wajib membayar kafarat. Wallahu a’lam. (*)
Discussion about this post