PRANALA.CO – Dulu kala, ketika orang-orang Dayak masih sering memburu kepala musuh-musuhnya, mereka membangun perlindungan di balik benteng kayu ulin yang kokoh. Batang-batang kayu ulin disusun utuh berjajar begitu rapat menyerupai pagar keliling yang sangat tinggi. Beberapa di antaranya dilengkapi dengan menara pengintai.
Sepasang haramaung diletakkan untuk menjaga pintu masuknya. Macan dahan ini menjadi simbol keberanian dan perlindungan bagi masyarakat Ngaju. Dulu di depan pagar juga akan ada sosok muka dengan mata melotot dan lidah terjulur. Si muka seram di tiang kambelawit inilah penghalau setiap hal buruk yang datang.
Kini yang ada hanyalah tiang kosong yang tampak di permukaan tanah. Pencuri telah mengambil patung macan penjaga itu dengan memangkasnya dari tiang. Patung kambelawit itu juga sekarang sudah tak utuh lagi. Tiangnya pun telah aus.
Sementara itu, sebagian besar tiang pagar sudah tak terlihat. Banyak yang hilang. Ada pula yang terpendam di dalam tanah. Begitu paling tidak yang bisa terlihat dari sisa-sisa bangunan Kuta Mapot dan Hantapang di Daerah Aliran Sungai Kahayan. Kuta adalah cara masyarakat Dayak Ngaju menyebut bangunan benteng bikinannya.
Sudah Ribuan Tahun
Di dalam sebuah kuta, biasanya terdapat rumah betang, rumah panggung panjang di mana masyarakat Ngaju berdiam. Di depan rumah betang seringnya terdapat sandung, sebuah kubur sekunder berbentuk rumah panggung kecil. Masyarakat Ngaju menyimpan sisa tulang belulang tokoh yang mereka hormati di dalamnya.
Kebutuhan sumber makanan tersedia di lumbung. Ada pula kuta yang dilengkapi dengan patahu, bangunan kecil berisi penjaga kelompok masyarakat di dalam kuta.
Teknologi hunian benteng semacam itu telah diwarisi masyarakat Ngaju sejak berabad silam. Yang tertua sementara ini adalah Kuta Mapot yang telah dihuni sejak abad ke-4 atau sekira 1.700 tahun yang lalu.
“Secara fitrah manusia cenderung membentengi diri, seperti juga orang Dayak membentengi diri dengan benteng keliling,” kata Sunarningsih, peneliti Balai Arkeologi Kalimantan Selatan dalam diskusi via zoom bertajuk “Misteri Kuta di Kalimantan” yang diadakan oleh Balai Arkeologi Kalimantan Selatan, Selasa, 23 Juni 2020.
Sampai abad ke-19 benteng-benteng perlindungan masyarakat Ngaju itu masih bisa diamati dengan baik. Setidaknya bisa tergambar jelas dalam catatan geolog dan naturalis Jerman, Carl Schwaner yang melakukan ekspedisi menembus pedalaman Borneo pada 1843–1847.
Dalam penjelajahannya, di sepanjang sungai utama di Kalimantan bagian tengah, Schwaner banyak menemukan hunian berbenteng. Ia menyebut hunian itu dengan istilah kotta. Ia mendata ada sembilan kotta di sepanjang Sungai Barito, 26 kotta di Kapuas, dan 62 kotta di Kahayan.
“Kuta, atau yang oleh Schwaner ditulis kotta, adalah sistem pertahanan yang dimiliki masyarakat Dayak Ngaju yang hidup di sepanjang sungai Barito, Kapuas, dan Kahayan di Kalimantan bagian tengah,” kata Sunarningsih.
Balai Arkeologi Kalimantan Selatan masih bisa mendata beberapa kuta ketika melakukan penelusuran pada 2013 di sepanjang DAS Kahayan dari hilir hingga hulu. Misalnya, kuta di Kuala Kurun yang berada di tepi Sungai Kahayan. Tanda-tandanya sudah tidak terlihat, kecuali keberadaan bangunan sandung.
Sejumlah lokasi penemuan benteng sudah bisa diperkirakan umurnya. Misalnya, Kuta Amai Rawang di atas bukit batu diperkirakan berasal dari abad ke-15. Kuta Madehan dihuni pada sekira abad ke-12.
Peneliti Balai Arkeologi Kalimantan Selatan sudah menggali beberapa kuta. Misalnya, dari sampel arang didapat pertanggalan ablosut bahwa pembangunan Kuta Hantapang sudah dimulai sejak 1300–1800. Sedangkan Kuta Bataguh menunjukkan pertanggalan sejak 400 hingga 1800, sama dengan pertanggalan Kuta Mapot.
Dihuni Ketika Ada Serangan
Mansyur, sejarawan Universitas Lambung Makurat Banjarmasin, menjelaskan kuta diperkirakan awalnya dibangun pada zaman Tetek Tatum atau zaman Ratap Tangis.
“Zaman ini dikenal juga dengan zaman Haasang atau perang, bunuh membunuh antarsuku dan wabah sehingga banyak penduduk yang mengungsi,” kata Mansyur.
Kondisi masyarakat Ngaju yang masih melakukan tradisi pengayauan, berburu kepala musuh, menyebabkan munculnya bentuk rumah betang berpagar keliling. Hunian semacam ini dianggap lebih aman.
Ketika terjadi serangan, kata Sunarningsih, kelompok tersebut akan berlindung di dalam kuta. Mereka masih bisa beraktivitas dan bertahan hidup, karena berbagai fasilitas tersedia di dalam kuta. Kebutuhan logistik juga tersimpan di dalam lumbung.
“Apabila serangan musuh sudah berhenti untuk sementara, penghuni kuta akan beraktivitas seperti biasa, baik di ladang maupun di sungai untuk melanjutkan kehidupan mereka,” kata Sunarningsih.
Kuta diperkirakan tak dipakai lagi setelah perjanjian damai Tumbang Anoi pada 1894. Namun, pada tahun-tahun setelahnya tampaknya masih terjadi aktivitas kayau pada beberapa tempat tertentu di wilayah Kalimantan.
“Aktivitas tersebut tidak dengan serta merta langsung berhenti,” kata Sunarningsih, dikutip dari Historia. **
Discussion about this post