Pranala.co, SAMARINDA — Kalimantan Timur (Kaltim) memasuki fase paradoks fiskal yang kian terasa. Di satu sisi, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) justru membengkak. Di sisi lain, sejumlah program strategis pemerintah berjalan terseok-seok, jauh dari target ideal.
Hingga September 2025, SiLPA Kaltim menembus Rp9,96 triliun, naik 16,93 persen. Sementara itu, surplus anggaran daerah ikut melonjak 13,77 persen menjadi Rp6,41 triliun. Kondisi ini kontras dengan berbagai agenda prioritas yang belum menunjukkan kinerja memuaskan.
Kepala Kanwil DJPb Kaltim, Edih Mulyadi, menyebut situasi ini sebagai ironi fiskal. “Di atas kertas, fiskal kita terlihat kuat. Tapi di lapangan, banyak program yang temponya melambat,” ujarnya.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi salah satu sorotan. Hingga kini, baru 81 satuan pendidikan yang menjalankan program tersebut, didukung 151 supplier untuk melayani 235.285 penerima manfaat. Angka ini jauh dari cakupan ideal yang diharapkan pemerintah.
Sektor perumahan pun tak kalah lesu. Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) baru menjangkau 9 lokasi dengan 1.674 unit rumah senilai Rp304,6 miliar. Padahal, kebutuhan hunian layak di Kaltim terus meningkat, seiring populasi mencapai 3,8 juta jiwa.
Revitalisasi sekolah juga belum menggembirakan. Dari target 29 sekolah, baru 23 yang selesai. Program Sekolah Rakyat hanya terealisasi 2 dari 5 sekolah. Sementara SMA Unggul Garuda, yang direncanakan menjadi ikon pendidikan, baru beroperasi 1 dari 20 unit yang dirancang.
Bidang ketahanan pangan pun menghadapi cerita serupa: dari total pagu Rp352 miliar, serapan baru Rp156 miliar atau 44,32 persen.
Di tengah kelambatan sejumlah sektor, bidang kesehatan tampil paling stabil. Kementerian Kesehatan mencatat serapan anggaran Rp73,88 miliar, tumbuh 13,67 persen secara tahunan.
Tahun 2025 juga menjadi momentum penting hadirnya Rumah Sakit Umum Pusat IKN, dengan alokasi Rp76,80 miliar untuk belanja modal peralatan medis dan teknologi informasi.
“Pemerintah pusat melalui TKD mengalokasikan Rp441,4 miliar untuk DAK Fisik Kesehatan dan DAU Spesifik Kesehatan pada 2025,” ungkap Edih.
Data menunjukkan tren positif lainnya: Umur Harapan Hidup Kaltim meningkat dari 74,72 tahun (2023) menjadi 75,03 tahun (2024).
Meski DAK Fisik Kesehatan turun dari Rp251,4 miliar menjadi Rp116,9 miliar, DAU bidang kesehatan justru melonjak dari Rp103,8 miliar menjadi Rp199,5 miliar.
Fenomena menarik terjadi pada penanganan stunting. Meski anggaran dipotong 79,42 persen, dan serapan hanya Rp16,78 miliar, hasilnya cukup baik: prevalensi stunting turun dari 10,20% (2023) menjadi 9% (2024).
Namun, Kaltim tetap harus berjuang lebih keras karena angka tersebut masih di atas rata-rata nasional (6,1%). Upaya tersebut ditopang Dana Desa Earmark sebesar Rp84 miliar, yang fokus pada pengelolaan air limbah domestik dan Desa Pangan Aman.
Sementara itu, BKKBN mengalokasikan Rp53,80 miliar meski turun 7,44 persen, sedangkan BPOM menyalurkan Rp17,49 miliar, turun 29,90 persen. (*)
Dapatkan berita terbaru PRANALA.co di Google News dan bergabung di grup Whatsapp kami










