Pranala.co, BONTANG – Wacana pemerintah pusat untuk melakukan sentralisasi Aparatur Sipil Negara (ASN) khusus tenaga guru dan kependidikan mendapat penolakan dari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Bontang. Mereka menilai kebijakan itu berpotensi menabrak prinsip otonomi daerah dan menimbulkan masalah baru bagi para pendidik di lapangan.
Ketua PGRI Bontang, Saparudin, menyampaikan keberatan itu usai upacara peringatan Hari Guru, Selasa (25/11/2025). Ia menegaskan bahwa sentralisasi guru bukan sekadar persoalan administrasi penempatan pegawai. Kebijakan itu menyentuh langsung kehidupan para guru dan stabilitas pendidikan di daerah.
“Kami tidak setuju jika distribusi guru dipusatkan. Indonesia ini luas, bukan hanya Bontang atau Jakarta. Kalau diatur dari pusat, bisa saja guru Bontang dipindah ke Kutai Timur atau sebaliknya. Itu tidak sederhana,” ujar Saparudin.
Ia menilai wacana pemerataan guru dari pusat kerap tidak mempertimbangkan kondisi sosial para pendidik. Banyak guru sudah lama menetap, berkeluarga, dan berakar di satu daerah. Pemindahan jarak jauh tentu bukan perkara ringan.
“Bayangkan guru yang sudah beranak-pinak di Bontang, lalu ditempatkan di Sangkulirang. Itu berat. Pemerataan penting, tapi faktanya selama ini guru sudah cukup merata,” jelasnya.
Sebagai langkah resmi, PGRI Bontang akan mengajukan keberatan melalui PGRI pusat. Menurut Saparudin, sentralisasi distribusi guru tidak sejalan dengan Undang-Undang Otonomi Daerah yang menyebutkan bahwa kewenangan pendidikan dasar berada di kabupaten/kota, sementara pendidikan menengah berada di provinsi.
“Undang-undang otonomi daerah belum dicabut. Jadi aneh kalau distribusi guru dipusatkan. Kami akan sampaikan keberatan lewat organisasi,” tegasnya.
PGRI pusat saat ini juga sedang membahas isu tersebut bersama Komisi IX DPR RI. Namun PGRI Bontang tidak hadir dalam rapat di Jakarta karena berbenturan dengan agenda daerah. Meski begitu, komunikasi tetap berjalan melalui grup WhatsApp organisasi.
Sentralisasi guru disebut-sebut akan menjadi satu paket dengan revisi Undang-Undang Guru dan Dosen. Namun hingga kini belum ada keputusan final dari pemerintah maupun DPR.
Di tengah ketidakpastian itu, Saparudin berharap pemerintah lebih mendengar situasi riil para guru di daerah.
“Pendidikan itu bukan hanya soal aturan, tapi juga soal manusia di dalamnya. Jangan sampai niat pemerataan malah menambah masalah baru,” pungkasnya. (*)
Dapatkan berita terbaru PRANALA.co di Google News dan bergabung di grup Whatsapp kami










