pranala.co – Perbedaan pendapat tentang kesahihan amalan pada malam Nisfu Sya’ban tak bisa dielakkan. Pihak yang mengamalkan beralasan Nisfu Sya’ban merupakan tradisi baik menjelang Ramadhan. Sementara, ada yang menolak dengan alasan tak pernah dilakukan Rasulullah SAW. Meski perbedaan pendapat selalu ada, tidak lantas membuat kedua pihak saling bertikai.
Lantas, bagaimana awal mula kaum Muslimin melakukan amalan Nisfu Sya’ban? Ustaz Ahmad Zarkasih Lc. mengatakan, berdasarkan kita Lathaif al-Ma’arif (hal. 137) yang ditulis Imam Ibnu Rajab salah satu ulama kondang dari madzhab al-Hanabilah, menyebutkan bahwa budaya menghidupkan malam Nisfu Sya’ban diawali salah seorang ulama dari kalangan tabi’in yang ahli ibadah.”Beliau adalah Khalid bin Ma’dan bin Abi Karb al-Kila’iy dari Syam,” kata dia.
Khalid wafat tahun 104 Hijrah. Namanya tertulis dalam daftar rijal ulama hadis. Beliau masuk dalam kategori tsiqah, dan terkenal sebagai seorang ahli ibadah yang wara’. Khalid lahir di Yaman, akan tetapi lama tinggal di Hamsh, Syam dan wafat di tempat yang sama.
Dalam kitabnya al-A’lam (2/299), Imam Al-Zirikli menukil cerita dari Ibnu Asakir. Dia (Ibnu Asakir) menyebutkan bahwa Khalid bin Ma’dan orang yang rajin sekali bertasbih. Saat sedang sekarat pun, tangannya terlihat bergerak seperti sedang bertasbih.
Dari kebiasaan yang dilakukan oleh Khalid bin Ma’dan, lalu diikuti oleh ulama syam lainnya; Makhul, juga Luqman bin ‘Amir. Kebiasaan itu pun diikuti oleh para masyarakat. Bukan hanya sekitaran syam, akan tetapi hampir seluruh pelosok negeri Islam, melakukan kebiasaan menghidupkan malam nisfu Sya’ban ini.
Ustaz Ahmad mengatakan, memang ada hadits tentant kemuliaan nalam Nisfu Sya’ban. Hadits tentang kemuliaan malam Nisfu Sya’ban itu yang menjadi sandaran bagi mereka yang membudayakan dan membiasakan menghidupkan malam tersebut dengan berbagai amalan ibadah meski tidak semua shahih.
Artinya dari hadits-hadits tersebut ada yang shahih, ada yang juga yang dhaif, bahkan maudhu’ (palsu). Akan tetapi di antara yang lemah dan palsu itu, ada satu hadits yang dihukumi oleh jumhur lama hadits ini sebagai hadits shahih.
Karena shahih maka menyandarkan amalan dengan hadits ini dilegalkan. Yakni hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitabnya Syu’ab al-Iman: Nabi SAW bersabda: “Allah SWT melihat kepada hamba-Nya di malam Nisfu Sya’ban, Allah SWT mengampuni dosa semua makhlukNya kecuali orang musyrik dan orang yang sedang berseteru (dengan saudaranya)”. (HR. al-Baihaqi).
Syekh al-Albani menshahihkan hadits ini dalam kitabnya al-Silsilah al-Ahadits al-Shahihah. Beliau menjelaskan tentang shahihnya hadits ini beserta seluruh jalurnya dalam 4 halaman kitabnya di jilid ke 3, dari halaman 135 sampai 139.
Beliau mengatakan:”Hadits shahih, diriwayatkan oleh jumlah banyak dari para sahabat, dari berbagai jalur sanad yang saling menguatkan satu sama lain.”
Kemudian, Syekh al-Albani mengkritik Sheikh al-Qasimiy yang mendhaifkan hadits ini. Beliau (Sheikh al-Albani) mengatakan: “Sedangkan apa yang dinukil dari al-Qasimiy rahimahullah dalam kitab Ishlahul Masajid (hal. 107), dari ahli Jarh wa al-Ta’dil, bahwa beliau mengatakan tidak ada hadits yang shahih mengenai fadhilah malam nisfu sya’ban, pendapat ini tidak layak untuk dijadikan sandaran.
“.. Dan jika ada salah seorang dari mereka mengucapkan hal yang sama (dengan sheikh al-Qasimiy), sesungguhnya itu pendapat yang terburu-buru dan tidak berusaha mengerahkan kemampuan untuk meneliti berbagai jalur sanad sebagaimana penelitian saya yang saya tulis di kitab ini. semoga Allah memberi taufiq.”
Ustaz Ahmad Zarkasih mengatakan, mengingat amalan Nisfu Sya’ban memiliki dalil hadits yang shahih, maka tidak mengapa jika kemudian ada orang yang melakukan amalan ibadah guna meraih fadhilah dan keutamaan malam ini. Layaknya waktu sahur (tahajjud) yang memiliki banyak fadhilah, Muslim berusaha keras untuk meraih fadhilah tersebut dengan memperbanyak ibadah dan berdzikir.
Discussion about this post