pranala.co – Kalimantan Timur (Kaltim) memiliki 13 potensi bencana, antara lain banjir, banjir bandang, cuaca ekstrem, gelombang ekstrem dan abrasi, gempa bumi, serta bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
“Kemudian bencana kekeringan, tanah longsor, tsunami, kegagalan teknologi, epidemi dan wabah penyakit, likuefaksi, dan pandemi COVID-19 yang baru saja berlalu,” ujar Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kaltim Agus Hari Kesuma di Samarinda, Selasa.
Dari 13 potensi bencana tersebut, saat ini pihaknya lebih banyak melakukan penanganan pada beberapa bencana yang kerap terjadi seperti banjir, banjir bandang, karhutla, dan tanah longsor yang cenderung terjadi saat hujan lebat.
Pada periode 2018-2022, lanjut Agus, Kaltim terdapat 2.980 berbagai kejadian bencana yakni kebakaran sebanyak 970 kali, karhutla 714 kali, tanah longsor 284 kali, banjir 631 kali, angin puting beliung sebanyak 35 kali, konflik 1 kali, kecelakaan sungai 84 kali, wabah penyakit 12 kali, gempa bumi dan tsunami 3 kali, abrasi 2 kali, orang tenggelam 54 kali, dan bencana lain-lain sebanyak 190 kali.
Jika dirinci per kabupaten/kota, kata dia, maka bencana tersebut paling banyak terjadi di Kota Samarinda (737 kali), kemudian Balikpapan (503 kali), Kutai Kartanegara (294 kali), Kutai Timur (327 kali), Berau (269 kali), Penajam Paser Utara (262 kali), Paser (232 kali), Bontang (202 kali), Kutai Barat (131 kali), dan Kabupaten Mahakam Ulu (23 kali).
“Melihat potensi utama bencana di Kaltim berupa banjir dan tanah longsor, termasuk hidrometeorologi, maka perlu adanya mitigasi terhadap daya rusak air, sesuai dengan harapan Presiden Joko Widodo, yakni pengelolaan tata ruang dan perizinan pembangunan harus berbasis mitigasi bencana,” katanya.
Pengendalian daya rusak air, katanya, merupakan upaya untuk mencegah, menanggulangi dan memulihkan kualitas lingkungan, yakni pengendalian daya rusak air yang diutamakan pada upaya pencegahan yang disusun secara terpadu dan menyeluruh dalam pola pengelolaan sumber daya air.
Sedangkan pengendalian daya rusak air diselenggarakan dengan melibatkan masyarakat dan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, daerah, pengelola sumber daya air, termasuk juga masyarakat.
Adapun ruang lingkup kegiatan pengendalian daya rusak air mencakup tiga kegiatan utama, yakni pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan.
“Upaya pencegahan yang dilakukan ada dua yakni fisik dan nonfisik. Untuk fisik seperti pembangunan sarana prasarana dan kegiatan lain untuk mencegah daya rusak air, sedangkan kegiatan nonfisik seperti penyusunan dokumen, pengaturan, pembinaan, pengawasan, dan pengendalian,” katanya. (*)
Discussion about this post