PRANALA.CO – Siapkan memori card tambahan untuk kamera Anda, sebelum berkunjung ke Taman Nasional Danau Sentarum di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Sepasang enggang yang bercengkerama di pepohonan, orangutan yang bergelantungan di habitatnya, serta keindahan alamnya, tidak akan pernah Anda jumpai di belahan bumi mana pun selain di sini, tepat di Jantung Kalimantan.
Sentarum, danau purba di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, diyakini terbentuk dari zaman es atau periode Pleistosen, mengandung 266 spesies ikan yang 78 persen di antaranya adalah endemik. Ikan bernilai ekonomi seperti gabus, toman, lais, dan belida, juga menjadi penghuni dalam air danau yang menghitam kemerahan, warna alami khas gambut.
Pepohonan yang menjulang di tengah dan sekitar danau juga menjadi rumah terbaik bagi lebah madu hutan (Apis dorsata) untuk bersarang. Siapa mengira, kepingan surga ini beberapa kali porak-poranda “dihajar” pembalak liar, kebakaran, serta eksploitasi serampangan.
“Dulu, warga yang malas menebar jala cukup menuangkan tuba (racun). Tunggu sekian menit maka ikan akan mengambang, siap diraih. Tapi sayang, telur dan anak ikan ikut mati,” kenang Basri Wadi, nelayan Danau Sentarum, 25 Januari 2018.
Pria yang akrab disapa Pak Uge ini adalah satu dari 92 kepala keluarga penghuni Kampung Semangit, Dusun Batu Rawan, Desa Nanga Leboyan, Kecamatan Selimbau, Kabupaten Kapuas Hulu, yang menggantungkan hidupnya dengan mencari nafkah di kawasan Danau Sentarum.
Ikan hasil tangkapannya diolah menjadi kerupuk dan salai setelah melalui proses penjemuran dan pengasapan berjam, bahkan berhari. Hampir di setiap beranda rumah penduduk Semangit, akan dijumpai ikan berbagai ukuran terpapar teriknya sinar matahari.
Selain beternak ikan toman, Pak Uge sudah tiga tahun menjalankan amanah sebagai Presiden Asosiasi Periau Danau Sentarum (APDS) setelah didaulat oleh kelompok petani madu tradisional (periau) yang dibentuk medio 2006.
Periau tak hanya memanfaatkan sarang lebah alami di pohon. Mereka juga membuat tikung (dahan buatan) yang dipasang di pohon agar lebah datang bersarang.
Millennium Challenge Account (MCA) Indonesia melalui Konsorsium Dian Tama melihat potensi di Semangit, bergerak mendampingi para periau mengelola madu dengan teknik panen madu lestari untuk mendapatkan kualitas madu bermutu tinggi.
“Madu asal Danau Sentarum sejak lama sudah dikenal masyarakat luas. Hanya saja dalam pengolahannya belum diproses secara higienis. Proses panen kala itu, juga tidak memikirkan keberlangsungan hidup lebah, karena semua sarang diambil,” kata Thomas Irawan Sihombing, Project Manager Konsorsium Dian Tama, 26 Januari 2018.
Kini teknik pemanenan madu lestari pun berkembang. Petani madu tak lagi memanen malam hari, karena menyebabkan tingginya angka kematian lebah. Pisau untuk memanen pun menggunakan stainless steel antikarat. Prosedur pengolahan juga harus menggunakan sarung tangan karet, saringan dan wadah tertutup untuk menjaga kebersihan dan kualitas madu.
“Teknik pemotongan sarang lebah juga tidak seperti dulu, dipotong sampai habis. Sekarang petani hanya memotong bagian kepala madu sarang sehingga bagian sarang yang berisi anak lebah tidak terpotong karena dalam tiga minggu akan tumbuh kembali,” sambung Irawan.
Kini kesejahteraan para periau mulai membaik. “Dulu per kilogram madu hanya dihargai Rp20 ribuan. Namun semenjak ada program pendampingan LSM, harga madu Sentarum mencapai Rp140 ribu per kilogram,” tutur Suharjo, petani madu generasi ke empat dari Kampung Semangit, Kamis (25/1/2018).
Sentarum ibarat magnet dengan sejuta pesona di dalamnya. Deru mesin speedboat hilir mudik memecah kesunyian danau, dan geliat para periau yang menjemput impian sungguh nyata di atas tanah mereka sendiri.
Sumber: Di-posting ulang dari Mongabay Indonesia
Discussion about this post