pranala.co – UU Nomor tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dia adalah Yati Dahlia, warga Suku Paser Balik, suku asli di Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur.
Musbabnya, Yati dan 38 Kepala Keluarga (KK) yang menghuni kawasan di sekitar IKN tak pernah dilibatkan dalam proses pembuatan UU IKN.
Yati mengajukan gugatan bersama beberapa tokoh pemohon lainnya seperti Ketua Umum PP Muhammadiyah, Busyro Muqoddas, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan Yayasan Wahana Lingkunan Hidup Indonesia (WALHI).
Tempat tinggal Dahlia bersama 83 KK lainnya hanya berjarak enam kilometer dari titik nol IKN [dan] tidak pernah dilibatkan bahkan tidak pernah diajak berkomunikasi oleh pemerintah tentang pemindahan IKN.
Kuasa hukum Ermelina Singerata dalam sidang, Senin (25/4) mengungkapkan bahwa Yati dan 38 KK lainnya khawatir akan dipindah dari tempat tinggalnya selama ini untuk kebutuhan IKN. Menurutnya, warga enggan dipindahkan atau direlokasi sebab tak ingin memulai kehidupan baru dan berpisah dari tetangga serta sanak saudaranya.
“Dahlia dan warga lainnya juga tidak ingin tercerabut dari sejarah dan identitas sebagai suku Balik,” ungkap Erneta.
Terlebih, setelah UU IKN resmi disahkan, warga sekitar di wilayah IKN termasuk warga Suku Balik tak diperbolehkan mengurus surat tanah milik mereka. Fakta ini menunjukan bahwa UU IKN tidak memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat yang tinggal di wilayah IKN.
Padahal, lanjut dia proses penyusunan Undang-Undang semestinya melibatkan pihak-pihak yang terdampak langsung dari pemindahan IKN seperti Yati dan 38 KK lainnya.
“Seharusnya pemerintah mengedepankan prinsip FPIC (Free, Prior, Informed, Consent) dalam proses pengambilan keputusan pemindahan IKN, Penyusunan UU dan pengesahan UU IKN,” paparnya.
Para penggugat menuntut agar MK menyatakan proses penyusunan UU IKN bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pasalnaya, proses penyusunan itu dibahas dalam waktu 42 hari oleh DPR dan pemerintah. Jika masa reses DPR tidak dihitung, maka UU IKN hanya dibahas dalam 17 hari.
Para penggugat mempertanyakan penyusunan UU IKN yang dianggap tidak memenuhi tiga prasyarat partisipasi masyarakat. Salah satunya adalah hak untuk didengarkan dan hak untuk dipertimbangkan pendapatnya.
“Ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained),” ujarnya.
Dahlia Yati dari Suku Paser Balik – penduduk asli setempat – mengatakan, saat ini patok-patok wilayah ibu kota sudah masuk perkampungan, menerobos tanah yang secara turun temurun mereka garap menjadi perkebunan.
“Lahannya orang tua, saudara. Sekitar empat hektare, ada banyak juga [lahan] saudara-saudara di sekelilingnya lahan-lahan itu,” kata Dahlia, yang menambahkan lahan yang diperoleh turun temurun itu berstatus “segel tanah” atau penguasaan lahan berdasarkan surat bermaterai yang diketahui oleh apartur desa.
“Lahan-lahan kami jangan dirambah lah,” kata Dahlia.
Kepala Suku Adat Paser Balik, Sabukdin memperkirakan di Kecamatan Sepaku – lokasi IKN Nusantara – terdapat sekitar 5000 – 6000 hektare lahan nenek moyang, yang belum mendapat sertifikat kepemilikan.
Lahan-lahan itu disebut Sabukdin sebagai satu-satunya “penopang hidup” karena “hutan kami habis, semua, mata pencarian ini habis.”
Ia berharap sebelum pembangunan ibu kota negara benar-benar dimulai, urusan kepemilikan lahan tersebut diperjelas, dengan berharap pemerintah memberikan surat-surat kepemilikan tanah kepada masyarakat adat.
“Tanggung jawab kita hanyalah mempertahankan tempat tinggal kami. Tempat kami bercocok tanam. Jangan sampai anak cucu saya itu tidak punya tempat tinggal,” kata Sabukdin, yang juga mengkhawatirkan jika itu tak diindahkan, “maka ini akan mengundang keributan.”
Suku Paser Balik merupakan bagian dari 21 komunitas masyarakat yang telah diverifikasi oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Dari 21 komunitas masyarakat yang berada di kawasan IKN Nusantara ini, hanya “perwakilan 1-2 orang komunitas” yang dilibatkan dalam proses pembangunan karena “secara umum belum dilibatkan”.
Deputi Sekretaris Jenderal AMAN, Erasmus Cahyadi mengatakan, 21 komunitas masyarakat melaporkan total 30.000 hektare lahan adat mereka tumpang tindih dengan izin konsesi perkebunan dan pertambangan, bahkan sebelum ada proyek IKN Nusantara.
Tetapi, sebagian dari 30.000 [hektare] ini diprediksi, kalau kita lihat anggota AMAN yang 21 itu, sebagian itu masuk ke IKN,” kata Erasmus.
Jumlah masyarakat adat yang terverifikasi oleh AMAN setidaknya dalam satu komunitas berjumlah 200 keluarga, sehingga bisa diperkirakaan persoalan lahan ini akan melibatkan paling sedikit 16.800 jiwa.
Pilihan yang paling mungkin dilakukan, kata Erasmus, pemerintah melibatkan masyarakat adat dengan menawarkan kontrak kerja sama, bukan membeli lahan mereka.
“Kalau ganti rugi, hak atas tanahnya itu akan beralih. Tetapi kita kerja sama, atau kontrak. Maka itu tidak beralih. Masyarakat adat juga diharapkan akan mendapatkan, benefit dari proses itu,” kata Erasmus. (cn/id)
Discussion about this post