CERITA diawali dengan maraknya kasus pembunuhan di desa fiktif Pagar Alas yang masih belum terpecahkan. Seorang dokter muda bernama dokter Jati (Refal Hady) memiliki trauma terhadap kekerasan semasa dia kecil hingga akhirnya berujung menjadi pembunuh berantai. Kenangan traumatik tersebut terus terbayang dibenaknya hingga akhirnya hanya dengan mendengar detak jantung saja, lah, yang membuatnya lebih tenang.
Berkedok sebagai dokter muda, Jati yang terobsesi dengan jantung manusia itu berhasil melancarkan aksi gila dengan membunuh satu per satu warga setempat dan mengambil jantung mereka sebagai koleksi pribadinya. Aksi itu pun terus dilakukannya hingga ia bertemu dengan calon penari lengger muda bernama Sukma (Della Dartyan). Jati yang terpesona akan paras serta suara detak jantung Sukma justru membuatnya tak tenang dan memaksanya untuk membunuh lebih banyak lagi.
Film Tarian Lengger Maut merupakan film layar lebar pertama yang dibuat oleh Yongki Ongestu. Bekerja sama dengan Visinema Pictures dan Aenigma Picture, Yongki mencoba formula unik dalam karya pertamanya tersebut. Mengangkat budaya tari lengger atau yang lebih akrab dikenal sebagai tari ronggeng, skenario yang ditulis Natalia Oetama nampaknya ingin mengubah asumsi miring masyarakat modern terhadap tarian ini dalam filmnya. Kendati demikian, eksekusi serta jalan cerita yang disampaikan masih terasa agak tanggung. “Tarian lengger” yang menjadi bagian dari judul film pun terlihat masih hanya sebatas pemanis dalam film.
Meski begitu, apresiasi patut diberikan kepada kedua pemeran utama film, yakni Refal Hady serta Della Dartyan. Keduanya memerankan masing-masing tokohnya dengan cukup apik. Refal cukup piawai sebagai Jati, konsisten dalam mimik serta gestur misterius yang membuat penonton dapat merasakan ketegangan tatkala tokoh dokter ini dalam proses pembunuhan. Saking melekatnya, sang aktor pun menuturkan bahwa ia sempat kesulitan keluar dari sosok dokter Jati selepas proses pengambilan gambar.
Begitu pula dengan Della yang berhasil menampilkan sosok Sukma, kembang desa pemalu yang tiba-tiba menggelora dan mengeluarkan aura seduktif kala memakai tusuk konde saat penampilan tari lengger tunggal pertamanya. Dedikasi sang aktris yang sempat menetap di rumah sinden serta pemain calung senior selama satu setengah bulan demi peran tersebut layak diberikan dua jempol.
Segi visual yang ditampilkan terasa tajam, pencahayaan yang jeli serta pewarnaan dingin yang tepat untuk menampilkan aura mistis. Yongki yang juga menjadi sinematografer nampaknya memaksimalkan latar belakang fotografernya. Hal ini dapat dilihat terutama pada adegan kala kedua pemeran utama menari bersama diiringi gemuruh gendang dan sinden, estetika apik untuk mengimbangi dinamika tarian.
Film yang awalnya berjudul Detak ini bisa menjadi opsi menarik, memberikan nuansa berbeda dari film-film yang tayang pada Idulfitri. Untuk film pertamanya, masih ada ruang bagi Yongki Ongestu untuk berkembang. Dengan kemampuan visualisasinya yang sudah kuat dan terlihat kedua pemeran utamanya berperan dengan baik, dapat dikuatkan lagi dalam film-filmnya selanjutnya.
Tugas terbesar mungkin ada pada skenario dari Natalia Oetama. Gagasan untuk menggunakan tari lengger dan kehidupan dokter bedah menarik, tetapi pengawinan dua ide ini masih belum rukun. Namun, ia jeli dalam meminimalisasi dialog dalam film ini mengingat Yongki punya kekuatan dalam visualisasi. (*)
Discussion about this post