pranala.co – Regresi Demokrasi dan Resentralisasi (3), Ditulis oleh: Azyumardi Azra, Ketua Dewan Pers. Meminjam kerangka argumen sustainable democracy, dengan prihatin harus dinyatakan, masa depan demokrasi di banyak negara kini tak seindah yang pernah dibayangkan banyak kalangan. Sejumlah perkembangan menghadirkan keadaan tak kondusif bagi demokrasi.
Lihatlah, wabah Covid-19 yang masih merajalela sepanjang tahun ketiga pada 2022—belum bisa diprediksi entah sampai kapan. Meski jumlah orang terinfeksi dan wafat karena Covid-19 turun dan naik di berbagai negara dunia, jelas wabah ini masuh jauh daripada selesai.
Tidak ada pihak, termasuk badan kesehatan internasional dan nasional dapat memprediksi kapan pandemi Covid-19 menurun menjadi endemi. Wabah Covid-19 jelas mengancam dan membuat regresi demokrasi.
Wabah Covid-19 memberi peluang besar peningkatan otoritarianisme di banyak negara, termasuk Indonesia. Banyak pemerintah di negara demokrasi atas nama ‘perang’ melawan Covid-19 mengambil keputusan dengan mengabaikan prosedur demokrasi— termasuk Indonesia.
Banyak kebijakan tak hanya gagal menerapkan demokrasi prosedural, tapi juga melanggar demokrasi substantif dan HAM. Selain itu, atas nama melawan Covid-19, pemerintah juga tidak selalu menjalankan kepatutan dan fatsun dalam hubungan dengan rakyat.
Suara dan komplain rakyat memprotes kebijakan pemerintah terkait Covid-19, regresi demokrasi dan resentralisasi tampak sering tidak dipedulikan.
Mengambil langkah dan kebijakan yang cenderung jalan pintas non-demokratis, Pemerintah Indonesia kadang terlihat gagap menghadapi Covid-19 dan dampaknya seperti kemerosotan ekonomi, yang kini malah disertai kenaikan harga dan inflasi tidak terkendali.
Dengan sumber daya keuangan kian menipis, utang makin menggunung, pemerintah patut menghentikan pendekatan dan cara yang melanggar demokrasi; dan sebaliknya menggalang partisipasi warga untuk memperbaiki keadaan.
Jika ingin kembali pada demokrasi lebih genuine, pemerintah dapat juga menggalang kekuatan masyarakat sipil untuk membantu dalam memitigasi dampak wabah Covid-19.
Namun, pemerintah gagal berkomunikasi politik dengan masyarakat sipil, yang akhirnya terpaksa bergerak sendiri mengerahkan segenap daya, usaha, dan fasilitas untuk memitigasi pandemi Covid-19 dan dampaknya—berusaha keluar dari kesulitan ekonomi dan sosial.
Dengan kemampuan menggalang dana filantropis, masyarakat sipil membantu penanggulangan kemiskinan dan pengangguran yang meningkat akibat wabah korona.
Banyak ormas Islam dan lembaga filantropi masyarakat sipil dengan partisipasi warga berjasa membawa Indonesia ke peringkat pertama negara paling dermawan secara global pada 2019, 2020, dan 2022. Sayang sekali potensi mereka kurang diapresiasi pemerintah.
Sangat disayangkan, di Indonesia justru terjadi peningkatan oligarki despotik-nepotistik, yang melibatkan ketiga cabang pemerintahan (eksekutif, legislatif, yudikatif).
Beragam kebijakan politik menyangkut kehidupan publik hampir sepenuhnya ditentukan segelintir pejabat puncak pemerintah dan elite politik partai. Mereka biasa juga disebut ‘oligarki politik’, yang sering bersekongkol dengan oligarki bisnis.
Berbagai langkah, termasuk legislasi pemerintah dengan DPR, lebih menguntungkan oligarki bisnis dan oligarki politik daripada warga juga bangsa.
Pemerintah Indonesia yang berhasil membentuk koalisi besar dengan mayoritas mutlak parpol di parlemen, hampir sepenuhnya memproses dan menetapkan undang-undang dan pengangkatan penjabat kepala daerah, tanpa melibatkan DPRD serta masyarakat sipil.
Meski ada suara kritis dari kalangan publik dan masyarakat sipil terhadap regresi demokrasi dan resentralisasi, elite pemerintahan dan politik oligarkis-nepotistik tampak tidak peduli. Demokrasi tak bisa berkelanjutan jika pemerintah dan DPR tidak lapang dada mendengar suara kritis.
Atau kalaupun seolah mau mendengar, tapi disertai berbagai catatan yang ujung-ujungnya seolah tidak membenarkan kritik. Walhasil, kritik umumnya seperti batu jatuh ke lubuk—tenggelam tanpa bekas.
Padahal, masih adanya suara kritis dari masyarakat merupakan modal tersisa agar demokrasi bisa berkelanjutan. Mereka yang bersuara kritis berani menghadapi segala risiko; ada kalangan warga yang berusaha menghalangi kebebasan beraspirasi dan berekspresi yang kian menyempit.
Berbagai survei menemukan, banyak warga kian takut menyatakan pendapat secara terbuka, apalagi menyampaikan kritik. Keadaan ini memprihatinkan karena keberanian berpendapat dan mengkritik merupakan salah satu prasyarat utama bagi demokrasi bisa berkelanjutan.
Kembali menciptakan keadaan dan iklim kondusif bagi tumbuhnya demokrasi berkelanjutan, kini salah satu tantangan utama pemerintahan Presiden Jokowi-Wakil Presiden Ma’ruf Amin.
Dalam waktu tersisa tak terlalu lama sampai pelantikan presiden dan wakil presiden baru pada 20 Oktober 2024, kepemimpinan nasional ini patut mengerahkan segala daya membangun kembali demokrasi agar berkelanjutan. Ini kelak bisa menjadi legasi penting mereka dalam sejarah. **
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Discussion about this post