MUNGKIN ini termasuk ‘berita baik’. Mungkin dia pejabat yang jujur. Usianya kisaran 58 tahun.
Rambutnya mulai menipis, memutih. Duduk tenang di teras rumah pribadinya. Ia tak memberi kesan sebagai pejabat yang dimanja segudang fasilitas.
Perutnya juga belum bergelambir lemak. Caranya berpakaian masih seperti dulu saat masih eselon IV.
Rapi, bersih dan wangi. Suka pakai sandal jepit jika berpergian. Alasannya, nyaman. Kakinya bisa adem tak berkeringat.
Seorang wartawan yang kepengin menulis sebuah “berita baik” suatu hari menemuinya.
Dia berbicara dengannya 90 menit lebih dikit. Tapi, waktu si wartawan pulang ia ragu. Benarkah ini sosok pejabat jujur yang dicarinya untuk ditampilkan di medianya bekerja.
Bagaimana pembaca bisa percaya, jika si pejabat adalah orang bersih? Bagaimana pembaca yakin bahwa ia tak pernah memberi kans buat diri atau keluarganya untuk kaya karena posisinya kini? Bagaimana?
Wartawan ini memang bisa mendiskripsikan betapa bersahajanya pakaian si tokoh. Betapa dekorasi dan perlengkapan rumahnya tak meriah.
Atau mobilnya di garasi hanya satu, kendaraan dinas. Sisanya motor matik keluaran 2017, pelat hitam, milik pribadinya.
Atau tentang istrinya yang tak seperti ornamen tebal kerlap-kerlip yang anehnya pandai bicara soal “kesederhanaan hidup”. Atau bahwa, ia tak punya perhiasan seharga Rp 7 juta lebih.
Tapi, pembaca konon bukanlah sekumpulan makhluk yang gampang percaya. Banyak di antara mereka lebih tahu ketimbang wartawan.
Segala hal. Tentang rahasia kekayaan si pejabat yang tersebar di sana-sini. Banyak pula yang mahfum kenapa hal-hal yang busuk itu tak pernah dikemukakan di media. Koran, media daring, hingga televisi.
Maka bila tiba-tiba si wartawan menampilkan seseorang pejabat, dengan pujian “bersih”, akan ada yang bertanya: “Apakah sudah diselidiki betul bahwa dia tak punya hasil korupsi yang tersembunyi?”
Apa boleh buat. Tampaknya seorang pejabat oleh khalayak cenderung dianggap “bobrok” dulu sebelum dibuktikan “bersih”.
Sebagaimana sejumlah orang lain bisa dianggap “Gestapu” atau “subversi” – dan ditahan – sebelum mereka bisa dibuktikan bukan.
Namun, itulah suasana berlaku. Titik bahaya dari korupsi tak cuma dilihat persentase kebocoran uang. Tapi juga dari menipisnya kepercayaan kepada bersihnya aparatur negara secara kesuluruhan.
Dalam situasi itu, seorang wartawan mungkin harus melakukan investigative reporting – bukan untuk membongkar penyelewengan, melainkan buat menampilkan teladan kebersihan.
Dan si orang bersih yang mau ditampilkan mungkin justru takut. Lalu berbisik: “Saya menolak kebijakan pemerintah Mas. Tapi itu harap jangan ditulis … off-the-record.”
Llu, dia pun menawarkan amplop kepada wartawan tadi.
Discussion about this post