SAMARINDA – Usai jadi buronan selama tujuh bulan, AE (35), Direktur UD KSJ, akhirnya ditangkap tim penyidik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Samarinda, 9 September 2024. AE diduga sebagai otak di balik operasi pembalakan liar berskala besar yang merusak hutan di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur (Kaltim)
Penangkapan ini disampaikan dalam konferensi pers oleh Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPPHLHK) Wilayah Kalimantan, Rabu (25/9/2024). Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani, mengungkapkan bahwa operasi ini merupakan hasil investigasi intensif selama berbulan-bulan.
“AE menggunakan izin usaha palsu untuk menjalankan aksinya. Kayu hasil pembalakan liar ini rencananya akan dikirim ke Surabaya,” ungkap Rasio.
Dari penangkapan AE, penyidik KLHK menyita sejumlah barang bukti, termasuk 138,59 meter kubik kayu bulat dan 2.521 keping kayu olahan, serta peralatan seperti mesin diesel dan bandsaw yang digunakan untuk memproses kayu secara ilegal. Lebih lanjut, penyidik juga menemukan 55 kontainer kayu ilegal di Surabaya yang diduga kuat terkait dengan jaringan pembalakan liar ini.
Kasus AE hanyalah bagian dari upaya KLHK dalam membongkar sindikat pembalakan liar di Kaltim. Beberapa pelaku lain telah ditangkap sebelumnya, termasuk AK (59), yang telah divonis 1 tahun 6 bulan penjara, dan IR (34), yang kini masih menjalani proses hukum.
KLHK terus mendalami investigasi untuk melacak aliran dana dari hasil pembalakan liar tersebut. Menurut Rasio, dampak pembalakan liar ini bukan hanya pada kerugian finansial negara, tetapi juga ancaman serius terhadap kelestarian lingkungan di wilayah tersebut.
“Kami berkomitmen menindak tegas para pelaku. Kerugian ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga ekosistem yang terancam rusak. Ini penting bagi masa depan lingkungan kita,” tegas Rasio.
KLHK telah berkoordinasi dengan aparat kepolisian dan kejaksaan untuk memastikan seluruh pelaku dijerat hukuman maksimal. AE dan para tersangka lainnya dijerat dengan Pasal 12 huruf E Jo Pasal 83 ayat 1 huruf b Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2013. Mereka terancam hukuman penjara hingga 5 tahun serta denda maksimal Rp 3,5 miliar. (*)
*) Ikuti berita terbaru PRANALA.co di Google News ketuk link ini dan jangan lupa difollow
Discussion about this post