PEMERINTAH tak bisa sembarangan membuka kembali pembelajaran tatap muka di sekolah. Sejumlah kalangan berpendapat, pemerintah harus benar-benar memastikan bahwa pelaksanan vaksinasi Covid-19 bagi guru sesuai target agar pembukaan sekolah bisa kembali dilakukan.
Mereka juga mengatakan, pembukaan sekolah sebaiknya dilakukan dengan menggunakan metode blended learning, yakni kombinasi antara pembelajaran daring dan luring. Sistem pembelajaran ini diusulkan sebagai solusi di tengah pandemi Covid-19 karena anak-anak tak bisa selamanya belajar jarak jauh lantaran sejumlah kendala.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengatakan, pemerintah berencana membuka kembali pembelajaran tatap muka di sekolah pada tahun ajaran baru Juli 2021 nanti. Pembukaan dilakukan setelah proses vaksinasi Covid-19 terhadap para guru selesai dilaksanakan.
“Targetnya pada Juni, nanti vaksinasi terhadap lima juta guru, tenaga pendidik, dan kependidikan semuanya insyaallah sudah bisa kita selesaikan. Sehingga di bulan Juli saat mulai (tahun) ajaran baru semuanya bisa berjalan normal kembali,” kata Jokowi di Jakarta, Rabu (24/2/2021).
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim menambahkan, pemerintah berupaya secara cepat agar pembelajaran tatap muka di sekolah bisa dikembali dilaksanakan. Menurutnya, pembelajaran jarak jauh (PJJ) dalam jangka panjang bisa mempengaruhi perkembangan anak.
“Esensi dari kebijakan ini (vaksinasi), dan kenapa tenaga pendidik menjadi salah satu yang diprioritaskan adalah sudah cukup lama anak-anak kita tidak sekolah tatap muka,” kata Nadiem, dikutip dari Antara.
Menurut Koordinator Nasional untuk Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim, sah-saja pemerintah menargetkan pembelajaran tatap muka di sekolah bisa kembali dilakukan pada Juli 2021 setelah proses vaksinasi Covid-19 bagi guru selesai akhir Juni.
“Namun, seandainya pun target Juni itu sudah rampung, bukan berarti kita bisa melaksanakan sekolah seperti sebelum virus korona muncul. Pembukaan sekolah harus tetap menggunakan protokol kesehatan dan tidak mengabaikan adaptasi kebiasaan baru,” kata Satriwan kepada Lokadata.id, Kamis (25/2).
Satriwan menegaskan bahwa pemerintah harus benar-benar memastikan pelaksanaan vaksinasi virus korona kepada guru ini sesuai target. Dia menyebut, ini karena sampai saat ini para guru masih bingung soal pelaksanaan teknisnya akibat sosialisasi yang belum maksimal.
“Secara umum guru-guru ini bersedia divaksinasi meski ada sekelompok kecil yang masih khawatir. Mungkin penyebabnya tidak adanya informasi yang lengkap dan utuh dari Dinas Pendidikan di daerah-daerah sehingga mereka belum yakin,” katanya.
Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) ini menambahkan, sebenarnya pembelajaran tatap muka sudah dilaksanakan oleh sejumlah sekolah di beberapa daerah. Namun demikian, jika dalam proses pembelajaran tersebut terjadi penularan virus korona, maka proses pembelajaran akan disesuaikan dengan kembali secara daring.
Blended learning
Menurut Pakar epidemiologi Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono, pembukaan kembali belajar tatap muka sebaiknya tidak dilaksanakan secara penuh dan serempak di semua daerah. Dia berpendapat, pemerintah sebaiknya menggunakan metode belajar blended learning lantaran belum ada kepastian terkait selesainya pandemi Covid-19.
Sistem belajar campuran ini, kata Pandu, dilakukan dengan memperhatikan situasi penyebaran virus korona di daerah masing-masing. Dia mencontohkan, siswa tidak perlu belajar tatap muka di kelas setiap hari selama sepekan. Pun dalam setiap harinya, pembelajaran juga dibatasi sekitar 4-5 jam.
Pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) ini mengatakan, sistem pembelajaran itu harus disepakati oleh baik guru, wali murid, dan warga sekolah. Dia melanjutkan, mereka pada nantinya diharapkan bisa mengatur model pembelajaran tersebut dengan melakukan penyesuaian jika sewaktu-waktu kasus Covid-19 melonjak.
“Model pembelajaran ini harus punya fleksibilitas yang tinggi. Dan betul-betul harus direncanakan dengan baik. Kemendikbud bisa membuat pedomannya tapi penerapannya bergantung situasi di lapangan,” kata Pandu kepada Lokadata.id.
Pandu menyadari bahwa anak-anak tak bisa selamanya belajar di rumah karena sejumlah kendala, salah satunya yakni akses terhadap internet. Selain itu, PJJ juga akan berdampak terhadap pengetahuan mereka. “Proses belajar mengajar harus berjalan tapi caranya harus kreatif. Karena kita punya bonus demografi yang sedemikian produktif dan harus dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan cukup,” katanya.
Kepada Lokadata.id, Pakar epidemiologi Universitas Airlangga Laura Navika Yamani juga berpendapat hal yang sama. Dia berkata, jika proses vaksinasi Covid-19 benar-benar selesai akhir Juni nanti, model blended learning bisa diterapkan sebagai pembukaan sekolah.
“Nah proses pembelajaran di sekolah kan memang harus diakomodasi. Namun, yang pertama harus diperhatikan adalah memastikan situasi penyebaran virus yang ada di daerahnya itu seperti apa,” kata Laura.
Laura menambahkan, sistem belajar campuran ini mesti dipersiapkan dengan baik. Menurut dia, persiapan terutama harus dilakukan dengan mengedukasi baik anak-anak maupun orang tua atau wali murid. Selain itu, fasilitas protokol kesehatan di sekolah juga disiapkan secara memadai.
Pelaksanaan sistem belajar campuran ini diharapkan bisa menjadi solusi di tengah pandemi lantaran sistem pembelajaran jarak jauh memiliki sejumlah kendala. Kondisi ini misalnya terekam dalam hasil evaluasi dan monitoring PJJ dari Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) DKI Jakarta.
Lembaga ini melakukan survei terhadap ribuan guru, anak, dan orang tua di pelbagai sekolah, akhir Juni lalu. LPMP DKI Jakarta menemukan, sejumlah kendala pada pelaksanaan PJJ bagi guru. Sekitar 70 persen di antara para guru memiliki masalah dalam soal ketersediaan paket internet.
Sedangkan kendala PJJ bagi siswa, 27 persen responden menyebutkan kendala dalam soal kuota internet, dan 26 persen menyatakan kurang bisa fokus belajar. Sementara kendala orang tua yakni, 34 persen soal tidak paham penjelasan materi dari guru dan 32 persen paket internet.
Meski begitu, rencana pembukaan kembali sekolah ini bukan tanpa kritik. Menurut Ketua Yayasan Guru Belajar, Bukik Setiawan, saat ini tidak ada urgensinya membuka kembali sekolah tatap muka. Sebab, katanya, tak sedikit sekolah yang belum siap dan risiko penularan Covid-19 masih tinggi.
“Kalau mengelola pembelajaran jarak jauh yang tidak berisiko dalam hal penularan virus saja masih tidak siap, bagaimana kita bisa siap mengelola pembelajaran tatap muka yang risikonya jelas lebih tinggi?” kata Bukik kepada Lokadata.id.
Alih-alih kembali membuka sekolah, lanjut Bukik, hal yang mendesak saat ini adalah upaya menjangkau murid dengan beragam cara. Artinya, pilihannya tidak harus dengan membuka sekolah tatap muka.
“Pemerintah tetap fokus membantu guru dan sekolah dengan memastikan murid mendapatkan pembelajaran yang optimal, misalnya dengan melatih para guru, menyediakan beragam bahan dan alat ajar, asesmen diagnosis, dan penyesuaian kurikulum,” katanya.
[JES]
Discussion about this post