AKHIRNYA lunas. Sebelum pukul sepuluh pagi tadi suntikan kedua vaksin Sinovac nancap di pangkal lengan kiri saya. Tigapuluh menit sejak jarumnya dicabut, alhamdulillah, tanpa gejala.
Prosedur di Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman (Unmul) kali ini lebih ringkas. Dua lembar kertas dari vaksin pertama, 9 Maret lalu, diminta petugas pendaftaran. Berikutnya isi ‘buku tamu’ dan formulir pernyataan siap divaksin. “Silakan tunggu di dalam, pak,” kata petugas itu dari balik loket bergorden plastik tembus pandang. Tak ada lagi isian kuesioner berkenaan dengan kondisi badan dan jiwa.
Di dalam klinik saya bergabung dengan sejumlah lansia lain. Rata-rata profesor. Di antara para beliau tampak pak Rahmat Soeoed, guru besar di Unmul, dan pak Eddy Soegiarto, mantan rektor Universitas 17 Agustus Samarinda. Bergiliran kami memeriksakan tekanan darah dan suhu badan.
“Tekanan darah bapak setara orang usia 40 tahunan,” kata juru periksa. Sejujurnya, untuk perkara-perkara seperti ini saya awam banget. “Memangnya tekanan darah saya berapa?” – “Seratus duapuluh per tujuhpuluh sembilan. Tekanan darah orang muda,” jawabnya. Tidak tahu, apakah tekanan darah seukuran itu paralel dengan tekanan hidup. Mau menanyakan kok ya malu. Lagipula nggak penting juga. Cukuplah ‘usia’ yang 40 tahunan itu sebagai hiburan.
Berikutnya ke pemeriksa lain. Menghadapi laptop terbuka dia menanyai saya; apakah mengalami gejala-gejala tertentu usai vaksin pertama, apakah pernah kontak fisik dengan pengidap Covid-19, dan apakah 28 hari terakhir ke luar kota. Jawaban untuk semuanya ‘tidak’.
Lalu suntik, nunggu 30 menit, dan menerima tiga lembar kertas – dua di antaranya adalah yang diminta petugas di loket pendaftaran tadi. Selesai. Pulang. Dengan riang. Bersamaan dengan ini web PeduliLindungi menerbitkan satu lagi sertifikat atas nama saya.
Belum tahu, kedua sertifikat itu untuk apa. Kegunaannya sebagai pengganti tas-tes perjalanan darat, udara, dan laut sampai tulisan ini dibuat belum terkonfirmasi. Tapi sejumlah negara konon hanya membuka pintu bagi pendatang yang sudah divaksin komplit – dua kali.
Mungkin belum penting juga. Meski sedang diharu-biru keinginan road-trip, bermobil menyusuri kota-kota di Kalimantan, Bali, Lombok, Jawa, dan Sumatra, dalam waktu dekat saya belum ke mana-mana. Sekarang ini cukuplah memastikan proteksi dari kemungkinan terpapar. Sebentar lagi Ramadhan. Badan harus sehat.
Suntikan dua vaksin itu, menurut keterangan dari sana-sini, belum akan menyelesaikan semua masalah. Ancaman masih menganga. Masih mungkin terpapar. Sistem antibodi tak dijamin melesat tinggi. Meski demikian, bukannya tanpa manfaat.
Di bawah ini penjelasan Iqbal Mochtar, seorang dokter, yang di-share sebuah grup WA yang saya ikuti. Berikut beberapa bagiannya.
Respons vaksin di tiap tubuh penerimanya tidaklah sama. Tergantung banyak faktor. Antara lain usia, penyakit bawaan (komorbiditas), daya tahan, dan status gizi. Tiga penerima vaksin serupa di waktu bersamaan sangat mungkin mengalami tiga efek berbeda-beda. Tak ada vaksin yang 100 persen ampuh.
Namun jumlah kurang respon begitu tak banyak. Kalaupun terinfeksi, kata penulis buku ‘Dokter juga Manusia’ ini, penerima vaksin tidak mengalami gejala berat. Jikapun mengalami, kemungkinan masuk rumah sakit dan dirawat di ICU berkurang. Andaipun masuk ICU, risiko meninggal lebih rendah dibanding orang yang tidak divaksin.
Artinya, vaksin bekerja di tiap matarantai perjalanan virus Covid-19; Dari infeksi sampai menjelang liang lahat. Bukan one-purpose. Vaksin adalah solusi serba guna. Selain mencegah keterpaparan, juga meminimalkan derajat keluhan, perawatan rumah sakit, dan kemungkinan kematian. Semua tahap disasarnya.
Studi Clalit Research Institute di Tel Aviv dan The Ben Gurion University of the Negev di Be’er Sheva, Israel, menyimpulkan dosis pertama vaksin mengurangi risiko keterpaparan sebesar 46%, risiko keluhan berat 57%, risiko masuk rumah sakit 74%, risiko dirawat di ICU 62%, dan risiko kematian 72%.
Efek dosis kedua lebih tinggi lagi. Menurunkan risiko terinfeksi 92%, risiko keluhan berat 94%, risiko masuk rumah sakit 87%, risiko masuk ICU 92%, dan risiko kematian 90% lebih.
Karena itu Iqbal meminta vaksin tak dijadikan tertuduh, sebagai yang tanpa guna, bila ada penerima yang masih teridap Covid-19. Periksa dulu faktor-faktor tadi. Usia Anda berapa tahun? Punya penyakit bawaan nggak? Daya tahan badan loyo atau fit? Kekurangan gizi ndak?
Seperti pernah saya tulis, vaksin ini memang mirip nasihat. Bisa diberikan kepada tiap orang. Tapi efeknya pada pembentukan kelakuan bisa tak sama. Sebab yang tua belum tentu dewasa, yang berpendidikan belum tentu terdidik, dan seterusnya. Sampah masih bisa terserak di lingkungan orang kaya. Korupsi masih mungkin dilakukan penegak hukum. Efikasi vaksin, eh nasihat .. bergantung pada mutu latar belakang dan kematangan pribadi-pribadi penerimanya.
Center for Disease and Prevention (CDC), kata Iqbal, tidak menganjurkan tes antibodi pasca vaksin. Selain tak perlu juga tak bisa diandalkan. Soalnya standar pemeriksaan di tiap laboratorium berbeda. Juga dalam level sensitivitas dan spesifitas. Organisasi kesehatan dunia, WHO, saja belum dapat menentukan standar level respon kekebalan atau proteksi penuh dari peluang terpapar Covid-19.
“Tetaplah jaga jarak, pakai masker dan cuci tangan. Terapkan multi-layer protection, (setelah divaksin) jangan merasa jadi ‘superman’ terhadap Covid,” kata Iqbal. Taruhannya kelewat mahal; kelanjutan hidup.
Demi kelanjutan hidup itu pula saya ikut jadi juru kampanye partikelir. Mengajak siapa saja memvaksin diri. Kemarin, misalnya, di sela-sela eksekusi soto Banjar dan durian suguhan ulang tahun Asrani Rasidi. Ada Hamdani Swara, Wawan Timor, Syaiful Yasan , Mukhransyah Saleh, Guntur Sahara, dan Fatqur Ozay di situ. Seperti keluarga besar-kecil saya, para sejawat di mana pun, serta tuan-puan di majelis ini, semua adalah di antara alasan mengapa hidup harus berlanjut. Wallaahua’lam. **
Discussion about this post