PRANALA.CO, Samarinda – Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kalimantan Timur masih menunggu arahan dari pemerintah pusat terkait pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG), khususnya mengenai penyesuaian nilai porsi makanan. Program yang diluncurkan secara nasional pada 6 Januari 2025 ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas gizi siswa di berbagai daerah.
Plt Kepala Disdikbud Kaltim, Irhamsyah, mengungkapkan bahwa pihaknya telah melakukan simulasi terkait penerapan program MBG, namun masih memerlukan arahan resmi dari pusat.
“Kami belum menerima surat arahan dari pusat terkait penyesuaian besaran nilai untuk porsi makanan. Namun, kami telah melakukan simulasi dan kemungkinan akan ada penyesuaian, terutama di daerah-daerah yang jauh dari perkotaan seperti Kabupaten Kutai Barat dan Mahakam Ulu,” ujar Irhamsyah.
Menurut Irhamsyah, kebutuhan gizi siswa di Sekolah Luar Biasa (SLB) juga memerlukan perhatian khusus karena berbeda dengan kebutuhan siswa pada umumnya.
“Misalnya untuk susu, siswa SLB tidak bisa diberikan susu UHT, melainkan harus susu kedelai atau susu pengganti lain. Tentu saja, harga susu tersebut berbeda dengan susu UHT,” jelasnya.
Irhamsyah menegaskan bahwa Pemerintah Provinsi Kaltim siap mendukung dan melaksanakan program MBG. Namun, masih diperlukan kejelasan mengenai mekanisme teknis pelaksanaan program tersebut.
“Secara prinsip, kami siap. Namun, secara teknis, kami masih menunggu petunjuk lebih lanjut, termasuk mekanisme penyediaan makanan, apakah akan dilakukan oleh masing-masing sekolah, pihak ketiga, atau melibatkan UMKM,” paparnya.
Disdikbud Kaltim telah melakukan simulasi nilai porsi makan sebesar Rp17.000 per siswa. Berdasarkan simulasi tersebut, nilai tersebut dianggap cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi siswa dengan menu yang beragam.
“Dengan menu yang ada, nilai Rp17.000 tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi siswa,” kata Irhamsyah.
Pengamat sosial dari Universitas Mulawarman, Prof. Moh Bahzar, menilai bahwa program MBG merupakan langkah yang positif. Namun, ia menekankan pentingnya kajian mendalam dan pemetaan kebutuhan gizi di berbagai daerah.
“Harusnya ada role model yang jelas. Apakah program ini akan dijalankan di seluruh Indonesia atau hanya di kota-kota besar? Perlu ada pemetaan wilayah yang benar-benar membutuhkan bantuan gizi,” ungkap Prof. Bahzar.
Ia juga menyoroti perlunya penyesuaian nilai porsi makan sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. Menurutnya, tidak bisa disamakan antara daerah di Pulau Jawa dengan daerah di Kaltim yang memiliki karakteristik geografis dan ekonomi yang berbeda.
“Perlu ada kajian mengenai kebutuhan gizi, harga bahan makanan, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat di masing-masing daerah. Ini penting agar program dapat berjalan efektif dan tepat sasaran,” ujarnya.
Prof. Bahzar menambahkan bahwa program MBG harus memperhatikan kondisi lokal untuk memastikan efektivitasnya. Menurutnya, pendekatan berbasis wilayah akan lebih efektif dibandingkan penerapan kebijakan seragam di seluruh Indonesia.
“Kebutuhan gizi siswa di daerah pedalaman tentu berbeda dengan kebutuhan di perkotaan. Oleh karena itu, kebijakan yang diambil harus berbasis data dan kebutuhan lokal,” tuturnya. (*)
Dapatkan berita terbaru PRANALA.co di Google News dan bergabung di grup Whatsapp kami
Discussion about this post