Sangatta, PRANALA.CO — Tidak banyak yang sabar menunggu dua tahun hanya demi sebuah dokumen. Tapi Junaidi Arifin dan Erwin Febrian Syuhada, dua aktivis lingkungan dari Kutai Timur (Kutim), membuktikan bahwa kesabaran kadang bisa lebih kuat dari batu bara itu sendiri.
Sejak September 2022, mereka berdua mulai mengetuk pintu demi pintu. Tujuannya sederhana, tapi panjang urusannya: meminta sebagian informasi operasi tambang batu bara PT Kaltim Prima Coal (KPC), raksasa tambang yang sudah puluhan tahun bercokol di Sangatta.
Yang mereka minta bukan hal sepele. Dokumen seperti Rencana Induk Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (RIPPM) 2021–2026, Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) 2021–2022, dan dokumen lingkungan seperti AMDAL, RKL, dan RPL.
Semua itu, menurut mereka, seharusnya menjadi hak publik untuk tahu. Karena ini bukan hanya soal bisnis, tapi soal hidup dan kehidupan di Kutim.
Tapi prosesnya, kata orang kampung sini, seperti menunggu durian jatuh di musim kemarau. Lama dan entah kapan matang.
Tahun demi tahun berlalu. Dari registrasi sengketa, sidang pemeriksaan awal, hingga mediasi. Baru pada akhir April 2025, sidang di Komisi Informasi (KI) Pusat—yang digelar secara hybrid—memutuskan sebagian pintu informasi itu boleh dibuka. RIPPM dan RKAB PT KPC diputuskan sebagai informasi terbuka.
Janji pun dibuat. Dokumen akan diserahkan selambat-lambatnya tujuh hari kerja setelah 29 April. Artinya, pekan ini bisa menjadi babak penting. Apakah janji itu ditepati? Atau justru jadi cerita lama yang diulang kembali?
“Spirit kami tidak padam. Justru ini baru awal,” ujar Junaidi. Ucapannya datar, tapi matanya menyimpan bara.
Rekannya, Erwin, juga tidak berhenti sampai di situ. Ia menyebut masih memperjuangkan agar dokumen lain seperti AMDAL, RKL, dan RPL bisa ikut diakses publik.
“Kalau kami bisa menang, ini jadi preseden penting. Bukan hanya buat kami berdua. Tapi buat semua warga Kutim yang selama ini ingin tahu bagaimana tambang diurus,” tegasnya.
Komisi Informasi Pusat pun belum menutup buku. Majelis Hakim memutuskan akan ada pendalaman lanjutan dalam sidang ajudikasi berikutnya.
Karena memang sejak dulu, tambang di Kutim selalu disebut sebagai urat nadi ekonomi. Tapi urat nadi itu, kata Junaidi dan Erwin, jangan sampai jadi urat yang disembunyikan dari rakyatnya sendiri.
“Kami hanya ingin memastikan tata kelola sumber daya alam di Kutim ini benar-benar on the track,” kata Junaidi.
Di negeri ini, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 sudah jelas: warga berhak tahu, kecuali informasi yang benar-benar membahayakan negara. Tambang bukan rahasia negara. Tapi selama ini, banyak informasi krusial justru disimpan rapi seperti harta karun yang dikubur. (*)
Dapatkan berita terbaru PRANALA.co di Google News dan bergabung di grup Whatsapp kami
1 bulan lalu
[…] itu, dari pihak perusahaan tambang, General Manager External Sustainable Development (ESD) PT KPC, Wawan Setiawan, angkat bicara. Ia tak menampik adanya pelimpasan air yang tinggi dari area […]
1 bulan lalu
[…] Aksi penyelundupan narkotika digagalkan Kepolisian Sektor (Polsek) Muara Wahau, Kutai Timur (Kutim), Senin malam, 5 Mei 2025. Seorang wanita berinisial W diamankan polisi setelah terbukti menyimpan […]