Pranala.co, BONTANG – Keresahan tengah menyelimuti para penegak hukum di Bontang. Bukan karena kasus besar, melainkan karena hitungan mundur menuju berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru pada 2 Januari 2026.
Satu pertanyaan mengemuka: bagaimana nasib berkas perkara yang dilimpahkan pada detik-detik terakhir tahun ini?
Haruskah diperbaiki? Diulang? Atau langsung mengikuti aturan baru?
Kegelisahan itu mencuat dalam rapat koordinasi lintas lembaga, Selasa (11/11/2025). Polisi, Kejaksaan, BNN, Bea Cukai, dan instansi lainnya duduk satu meja. Semuanya mencari kejelasan menghadapi perubahan besar dalam sistem hukum pidana Indonesia.
Ketua Pengadilan Negeri (PN) Bontang, Rahmat Dahlan, memulai dengan mengingatkan isi Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1/2023 tentang KUHP.
“Jika ada perubahan aturan setelah perbuatan pidana dilakukan, maka aturan yang baru yang berlaku. Kecuali aturan lama lebih menguntungkan pelaku,” terang Rahmat.
Secara prinsip, masa transisi sudah memiliki rambu. Namun masalah muncul karena belum ada petunjuk teknis dari pusat. Semua instansi pun berada di situasi serba menunggu.
“Semua masih menunggu arahan. Kita harus hati-hati, terutama untuk pelimpahan berkas di akhir tahun,” ujarnya.
Akibat tidak adanya pedoman jelas, beberapa perkara harus diprioritaskan. Mulai dari tindak pidana ringan, perkara dengan masa penahanan hampir habis, hingga kasus yang ancaman pidananya berpotensi berubah drastis di KUHP baru.
PN Bontang menargetkan seluruh perkara tersebut sudah inkrah sebelum Desember berakhir.
“Kalau tidak, bisa muncul ketimpangan. Ada kasus yang tuntutannya tujuh tahun di KUHP lama, tapi di KUHP baru hanya kena sanksi sosial. Ini jomplang sekali,” kata Rahmat.
Salah satu topik yang paling hangat dibahas adalah penyederhanaan pasal-pasal narkotika. Pasal 111 sampai 126 dalam UU Narkotika Nomor 35/2009 kini diringkas menjadi hanya dua pasal di KUHP baru: Pasal 609 dan Pasal 602.
“Perubahan besar ini menuntut penyesuaian cepat dan konsistensi penafsiran antarinstansi,” lanjut Rahmat.
Karena itu, pertemuan seperti ini dianggap krusial. Dengan terus bertemu, peluang salah langkah bisa diminimalkan. Namun Rahmat menyayangkan satu hal: tidak adanya perwakilan advokat.
“Harusnya mereka ikut. Kita bisa belajar bareng. Transisi ini kita sepakati mulai dari nol,” ujarnya.
Hitungan mundur menuju 2026 makin dekat. Namun satu hal kini semakin jelas: keberhasilan penerapan KUHP baru bukan hanya soal bunyi undang-undang, melainkan seberapa kompak para penegak hukum memahami dan menerapkannya.
Tanpa kekompakan itu, perubahan hukum yang besar bisa berubah menjadi persoalan baru di lapangan. (*)
Dapatkan berita terbaru PRANALA.co di Google News dan bergabung di grup Whatsapp kami










