pranala.co – Upaya media massa dalam visi mencerdaskan para pembaca tentu tidak semudah yang dipikirkan. Tak jarang, informasi atau berita yang ingin disampaikan pegiat media dimulai dari jurnalis maupun redaksi media tidak sampai dengan utuh kepada pembaca.
Umumnya, kondisi ini disebabkan dua faktor. Pertama, minimnya data pendukung atau detail yang disampaikan dalam berita. Kedua, kemampuan pembaca memahami konteks berita secara utuh. Kondisi ini diperburuk dengan semakin banyaknya platform digital maupun mudahkan menyebarkan informasi melalui media sosial.
Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Bontang Suriadi Said menuturkan, fenomena tersebut terjadi akibat dari kelalaian kedua belah pihak. Wartawan sebagai bagian dari keredaksian serta pembaca itu sendiri, ia menjelaskan.
Dari segi wartawan, tulisan yang tidak sesuai kode etik membuat suguhan informasi tersebut cenderung salah. Tentu hal tersebut tidak dibenarkan dan harusnya jadi pelajaran bagi seluruh pegiat media. Selain itu, kesalahan penafsiran dari hasil wawancara narasumber, juga menjadi faktor suguhan informasi yang disampaikan tidak benar.
“Misalnya, berita DPRD Bontang menolak masterplan banjir yang ramai beberapa waktu lalu. Ada yang menulis menolak, padahal maksud dari DPRD menunda. Tentu kata menolak dan menunda sangat berbeda,” jelasnya, Rabu (11/8).
Di sisi lain, Suriadi menyebut jika masih ada sebagian masyarakat yang belum cukup bijaksana dalam membaca sebuah berita. Kesalahan yang paling sering dilakukan yakni hanya membaca judul tanpa melihat secara keseluruhan isi berita.
Kebiasaan seperti itu menurutnya, bisa menjadi sumber hoaks karena tidak mengetahui secara utuh pesan yang ingin disampaikan lalu menyebarkan narasi yang tidak sesuai.
“Kebiasaan membaca judul tanpa isi berita ini yang fatal. Tidak tahu secara keseluruhan isi berita, lalu menyebarkan narasi yang tidak sesuai ke orang lain. Ujung-ujungnya bisa menjadi informasi hoax atau berita bohong,” ujarnya.
Survei Katadata Insight Center (KIC) yang bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika serta SiBerkreasi pada November 2020 lalu menyebutkan, setidaknya 30 sampai hampir 60 persen orang Indonesia terpapar hoaks saat mengakses dan berkomunikasi melalui dunia maya.
Sementara hanya 21 sampai 36 persen saja yang mampu mengenali hoaks. Kebanyakan hoaks yang ditemukan terkait isu politik, kesehatan dan agama.
Direktur Riset Katadata Insight Center, Mulya Amri mengatakan selain kemampuan mengenali hoaks masih rendah, tingkat literasi digital orang Indonesia juga masih belum cukup tinggi.
Dalam survei yang mengukur status literasi digital di 34 provinsi Indonesia ditemukan, indeks literasi digital secara nasional belum sampai level “baik”.
“Jika skor tertinggi adalah 5 dan terendah adalah 1, maka indeks literasi digital nasional baru 3,47 Ini baru sedikit di atas level menengah,” jelas Mulya.
Sementara jika dilihat lebih jauh, sub-indeks Informasi & Literasi Data memiliki skor paling rendah. Bagian ini mengukur kemampuan mengolah informasi dan literasi data, serta berpikir kritis responden.
“Responden ditanyakan tentang kemampuan menyaring informasi, juga apakah ia membandingkan berbagai informasi di dunia maya sebelum memutuskan sebuah informasi benar atau tidak,” jelas Mulya dalam rilis surveinya beberapa waktu lalu. (*)
Discussion about this post