DI TENGAH darurat pandemi Covid-19, pemerintah mengimbau kepada masyarakat untuk menerapkan physical distancing dan berkegiatan di rumah guna mencegah penyebaran virus. Akan tetapi, tidak dapat dimungkiri kalau masih ada sebagian orang yang masih harus bekerja di jalan, sebut saja ojek daring (online), penjual pentol, sate dan pekerja informal lainnya.
Pasalnya, pekerja informal seperti freelancer dan tukang ojek sering kali tak dapat tunjangan perusahaan layaknya pekerja formal. Belum lagi, demi mengais rezeki mereka dituntut bisa bertemu orang banyak.
Berbekal disinfektan, sarung tangan, masker, dan tas pengantar yang dijaga kebersihannya, cukup sepadan rasanya jika menyebut ojek online sebagai “pahlawan” pengantar makanan.
Pasalnya, di tengah penyebaran virus Covid-19 yang masif, mereka tetap melayani kebutuhan jasa antar makanan yang masih banyak dicari. Budiman (36) hanya segelintir contoh ojek daring yang saat ini gencar melayani kebutuhan warga Bontang.
Kehadiran mereka untuk terus memberikan jasa pengantaran makanan kepada masyarakat bukan tanpa alasan. Hal tersebut diungkapkan pria yang tinggal di Jalan Kapal Layar 4 Lok Tuan, Kota Bontang ini. Dia bersama rekan sejawatnya berjuang untuk tetap mengantarkan makanan meski ia sadar kalau pekerjaannya juga sangat berisiko.
“Saya masih mengantarkan makanan tiap hari. Sebab, saya tahu banyak masyarakat yang membutuhkan makanan untuk dirinya sendiri dan keluarganya. Selain itu, saya juga masih memiliki tanggung jawab untuk menghidupi anak dan istri saya di rumah,” ujar Budiman yang sudah melakoni ojek daring 1 tahun ini.
Dalam menjalankan tugasnya, dia selalu mengikuti arahan dari mitra perusahaannya yang menyosialisasikan perihal menjaga kebersihan mulai dari mencuci tangan usai mengantarkan pesanan, mengenakan masker, dan menggunakan hand sanitizer setiap memberikan pesanan ke pelanggan.
Disinggung mengenai aktivitas pemesanan, dia mengakui jika semakin melimpah. Bahkan dia kadang kewalahan menerima orderan pesan makanan. Sehari dia bisa mendapatkan lebih 10 orderan. Mulai melaju di jalan raya pukul 09.00 Wita sampai 20.00 wita.
“Banyak yang pesan beli makan sih. Kalau antar penumpang malah kosong. Ini mungkin banyak pegawai bekerja di rumah,” jelasnya.
Serupa tapi tak sama. Sumardi (55). Pria yang biasa menjajakan sate ayam dan kambing di seputaran Jalan P Suryanata, Bontang Baru pun mengeluh. Instruksi jaga jarak dan berdiam di rumah selama wabah korona tak berlaku baginya. Dia harus tetap berjualan demi lembaran rupiah. Kalau tidak berjualan, bisa dipastikan tak ada penghasilan.
“Ya tetap jualan Mas. Gimana mau makan. Saya punya tiga anak untuk dinafkahi. Istri sekarang juga hamil pula,” katanya.
Dia berkisah sebelum adanya pandemi Korona ini, satenya bisa habis 1.000 tusuk semalam. Berjualan jelang senja, pukul 22.00 Wita sudah ludes. Sekarang, sudah hampir sepekan, jualannya sering bersisa. Bahkan, kini dia dan istri hanya menyetok 600 tusuk setiap malam. “Kadang juga enggak habis. Pun kalau habis bisa sampai pukul 00.00 Wita. Mau diapakan lagi Mas. Semua mungkin malas keluar beli, karena ada larangan keluar rumah ini,” keluhnya.
Meski begitu, Sumardi tak kehabisan akal. Dia pun mulai menjual satenya via telepon. Nomor gawainya pun sengaja ditempel di kaca gerobak jualannya. Sementara untuk yang mengantar pesanan ke pembeli, dia meminta bantuan adik sepupunya, Nurhalim (22). Ongkos kirimnya gratis, kecuali daerah Berbas, BTN PKT, kompleks perumahan Badak LNG dan PKT, Lok Tuan, dan Guntung dikenakan biaya tambahan Rp 7 ribu.
Kendaraan yang melintas maupun orang lalulalang tak terlihat belakangan ini. Keadaan seperti ini menjadi kabar nestapa bagi para pekerja harian di jalan, salah satunya, tukang jamu sepeda, Tumarni (60).
Ditemani sepeda hitamnya, perempuan asal Sukoharjo, Jawa Tengah itu tengah berlindung di bawah pohon rindang dari sengatan terik matahari, di Kawasan Jalan Imam Bonjol, Bontang Selatan.
Tumarni yang kini menggunakan masker lebih banyak duduk di dekat sepedanya ketimbang sebelum kabar virus corona mencuat.
Pelanggan yang biasa membeli jamunya sudah tak kelihatan sejak sepekan lebih. Di tengah wabah corona, Tumarni paling tidak hanya meladeni pesanan jamu untuk satu atau dua orang saja. Penghasilannya pun kini merosot tajam. Padahal, dia masih memiliki banyak tanggungan untuk kebutuhan diri sendiri dan keluarga.
“Suami saya sudah meninggal 10 tahun yang lalu, saya masih ada dua anak yang masih bujang dan jadi tanggungan,” ungkap perempuan 4 anak itu kepada Pranala.co, Selasa (31/3).
Semenjak suami tutup usia karena penyakit jantung, Tumarni pun menjadi kepala keluarga. Kini ia tinggal mengontrak dengan dua anaknya yang masih bujang, satu orang bekerja sebagai penjaga keamanan kompleks dan anak yang paling bungsu bekerja sebagai ojek daring.
Namun, penghasilan mereka juga tak seberapa dan turut terkena imbas virus corona. Malah, anak bungsunya kerap meminta bantuan darinya. “Anak perlu uang rokok atau uang pulsa, ya mintanya ke saya dulu,” katanya.
Tumarni juga harus memikirkan uang sewa rumah kontrakan. Melihat kondisi ini, dia sudah memastikan ia bakal telat bayar. “Bulan ini paling telat bayar, ya mau bagaimana anak saya juga pemasukannya mandek. Biasanya mereka suka bantu-bantu,” terangnya.
Tumarni hanya pasrah dengan keadaan. Ia tak tahu lagi harus mencari penghasilan dari mana selain berdagang jamu. “Kalau saya mau makan kan harus nyari dulu untuk hari ini. Kalau orang lain di-lockdown enggak apa-apa tabungan kan banyak, duitnya banyak. Kalau kayak aku gimana coba,” ujarnya bernada getar.
Ia berharap kepada pemerintah untuk memberikan bantuan bila keadaan seperti ini berlangsung lebih lama. “Kalau enggak ada bantuan gimana? Matinya bukan karena Corona tapi kelaparan,” sambung perempuan yang sudah jadi penjual jamu sejak 1974 itu. **
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Discussion about this post