pranala.co – Film KKN di Desa Penari akhirnya tayang usai tertunda dua tahun akibat pandemi. Film garapan Awi Suryadi ini tak mengecewakan, tapi juga tak memuaskan.
Film yang ditulis skenarionya oleh Lele Laila ini tidak buruk, tapi tidak sampai membuat saya terpukau apalagi merinding seperti The Conjuring yang juga diadaptasi dari kisah nyata.
Eksekusi kisah utas Twitter oleh SimpleMan ini memang didominasi dengan mengikuti cerita aslinya, bahkan bisa dibilang terlalu kaku sehingga film ini bagai masing-masing twit yang dibuat reka adegannya.
Cerita film KKN di Desa Penari berjalan begitu “apa adanya”. Entah apa karena cerita KKN di Desa Penari aslinya dikisahkan tersaji dalam beberapa sudut pandang, sehingga membuat satu naskah film utuh menjadi begitu sulit dilakukan.
Namun yang pasti, pengembangan dan modifikasi cerita di film ini minim. Hanya ada beberapa perubahan untuk menyesuaikan format cerita layar lebar. Selain itu, beberapa bumbu di sejumlah bagian sebagai dramatisasi atau diniatkan sebagai penyegar.
Sayangnya, racikan itu tetap saja membuat film ini secara keseluruhan tak terlihat sebagai cerita yang utuh. Penonton, yang sebagian besar pasti sudah pernah membaca ceritanya, mungkin akan langsung terkoneksi saat adegan berganti meski loncatannya terasa kasar.
BACA JUGA: Film Gangubai Kathiawadi Review: Pejuang Hak Asasi Pekerja Seks Komersial di India
Akan tetapi ragu hal itu terjadi pada mereka yang belum pernah membaca, atau hanya sekadar melihat sekilas, atau pun seutuhnya lupa dengan cerita utas Twitter itu.
Misalnya saja, kurangnya pengenalan karakter dalam film ini. Atau penghubung antar bagian cerita yang kurang halus, sehingga penuturan kisah-kisah yang mestinya menegangkan menjadi tidak tersampaikan dengan mulus.
Awi Suryadi juga terasa kurang mengeksplorasi kengerian tempat dan suasana yang sebenarnya sudah on point. Hal itu terlepas dari saya dan mungkin penonton lainnya yang sudah punya imajinasi masing-masing soal lokasi kejadian dari membaca kisahnya di Twitter.
Ada banyak peluang yang sebenarnya bisa didramatisir, tapi justru tidak dipilih oleh Awi. Entah karena keputusan untuk saklek mengikuti kisah yang viral, atau karena hal lain.
Padahal, dramatisasi dalam film yang diangkat dari kisah nyata sebenarnya bisa menguntungkan karena membuat penonton lebih hanyut dalam cerita.
Apalagi Awi dan Lele Laila sebenarnya bermain dengan modifikasi gaya penuturan di bagian akhir, yang justru menurut saya seharusnya itu bisa dimanfaatkan dengan baik sejak awal.
Namun kembali lagi, ini adalah tantangan tricky bagi proyek-proyek film yang didasarkan kisah atau cerita teks terkenal. Saga raksasa seperti Harry Potter pun terus menghadapi ini hingga filmnya tamat pada 2011.
Terlepas dari cerita yang seadanya dari film KKN di Desa Penari, saya angkat topi untuk segenap tim atas kualitas sinematografi, desain produksi, tata rias, tata suara, juga set properti yang digunakan.
Keputusan tim produksi merekrut Ipung Rachmat Syaiful sebagai sinematografer adalah penolong film ini secara estetika visual.
Ipung bisa membawa mood film dengan permainan kamera, seperti sejak Nur cs berangkat ke desa, peralihan dari malam ke siang, hingga ketika Widya dikerubung dedemit. Permainan kamera ini setidaknya membuat film menjadi tidak begitu monoton.
BACA JUGA: Sabu 1,9 Kg dari Samarinda Gagal Edar di Sulawesi
Belum lagi didukung dengan set produksi yang dibuat mencirikan asal daerah cerita tanpa harus mengungkap identitas lokasinya, serta permainan scoring yang apik meski kurang didukung skenario yang kuat.
Saya pribadi tidak memiliki banyak komentar terkait performa para pemain KKN di Desa Penari. Selain karena tidak memiliki banyak ekspektasi dari mereka, toh sebenarnya titik berat cerita ini adalah teror dari Badarawuhi yang diperankan oleh Aulia Sarah.
Beragam teror itu pun sejatinya bergantung pada pengoptimalan efek visual, serta skenario cerita berisi kengerian juga ketegangan yang justru loyo sepanjang durasi film berjalan.
Hanya saja, saya keberatan atas penggambaran Ayu yang diperankan oleh Adinda Thomas dalam film ini. Ayu versi film digambarkan sebagai perempuan yang mengundang delik dan sinisme warga desa atas pakaiannya yang minim.
Bukan hanya soal stigma menilai perempuan atas pakaian yang menjadi masalah, gagasan ada mahasiswa putri mengenakan tank top satin dan celana mini untuk tidur malam di rumah gubuk di tengah hutan kaki gunung sebenarnya sudah di luar logika.
Kalau di dunia nyata, jelas itu tindakan menyusahkan diri sendiri karena yang bersangkutan pasti akan kedinginan atau dikerubung nyamuk. Lagipula, sepengalaman saya, mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) juga tidak sebodoh itu ketika harus menumpang di rumah warga lokal.
Bentuk dramatisasi yang terasa sebagai stigma ini sebenarnya tidak penting dan tidak perlu. Lagipula, kisah asli dari SimpleMan tak sampai mendiskreditkan karakter karena pakaian atau tampilan, melainkan fokus pada aksi dan perilaku yang mereka lakukan di desa itu.
Selain itu, penggambaran Wahyu yang diperankan Fajar Nugraha rasanya terlewat jauh dari apa yang digambarkan oleh SimpleMan. Celetukan Wahyu versi film seringkali off-side dan garing, sehingga bukannya membuat cerita jadi segar malah bikin kesal.
BACA JUGA: Children of Heaven Film Review: Belajar Introspeksi Diri dari Kisah Sepasang Sepatu
Dalam kisah asli, Wahyu tampak sebagai anak yang cenderung cuek dan tak peka terutama soal ucapan. Namun dalam film, sosok Wahyu lebih terlihat menganggap remeh bahkan cenderung merendahkan orang lain.
Namun itulah film fiksi yang didasarkan dari cerita populer, akan selalu ada perbincangan dan persepsi masing-masing atas apa yang sudah diketahui bersama.
Sementara itu, saya juga kecele dengan label “uncut” yang disematkan dalam salah satu versi film ini. Saya berekspektasi label itu akan membawa penonton kepada adegan yang lebih gore atau gamblang. Namun sepertinya itu semua hanya trik penjualan semata.
Terlepas dari itu semua, film KKN di Desa Penari sebenarnya masih bisa jadi salah satu pilihan tontonan horor saat Lebaran. Apalagi bagi mereka yang menyukai horor dalam level ringan. (red/tg)
Discussion about this post