MENDENGAR judul film Generasi 90-an: Melankolia, telah terselip branding di sana. Film ini memang diangkat dari buku Marchella F.P. yang berjudul Generasi 90-an. Buku ini merupakan buku ilustratif penggambaran masa remote control, masa teknologi digital masih banyak membaur dengan teknologi tradisional.
Sejenak terbesit dalam pikiran kita bahwa unsur nostalgia akan dimainkan dalam film ini. Esensi dari buku tersebut memang demikian dan kita belum bisa menebak jalan cerita filmnya karena buku tersebut bukan novel yang memiliki narasi konkret.
Akankah film ini mengemulasi masa-masa kecil anak ’90-an yang bangun pada Minggu pagi untuk menonton serial kartun sampai siang dan setelah itu bermain bersama teman tanpa terlibatnya gawai? Nyatanya tidak, tetapi ada iyanya sedikit.
M. Irfan Ramli membangun cerita dari nol dan mencoba menerapkan esensi-esensi dari Generasi 90-an. Kisahnya tentang Abby (Ari Irham) bersama Ayah (Gunawan Sudrajat) dan Ibunya (Marcella Zalianty) yang kehilangan anggota keluarganya, Indah (Aghniny Haque), karena kecelakaan pesawat. Ada juga sosok Sephia (Taskya Namya), sahabat Indah, yang dekat dengan keluarga dan inspirasi namanya sepertinya datang dari tembang Sheila on 7, “Sephia”, yang populer pada 2000-an awal.
Pada awal film, tokoh utama, Abby, diceritakan lahir tahun 2000. Kontradiktif memang, mengingat judul film ini bilang Generasi 90-an. Menutupi tahun lahir Abby yang tidak ’90-an pun dengan mengaitkannya pada hari pernikahan orang tuanya yang tepat dengan hari ditemukannya jasad Kurt Cobain dan hari lahir Indah yang bertepatan dengan tanggal kematian Nike Ardilla.
Referensi ’90-an takberhenti di situ, di kamar Abby terdapat poster Kurt Cobain serta poster album Green Day, Dookie. Selain itu, arahan artistik yang ditampilkan dalam film ini memang membuat kita mengenang masa-masa ’90-an. Mulai dari arsitektur rumah, tata rias para pemainnya, hingga warna-warna pencahayaan kontras tinggi ala film-film Wong Kar-wai.
Dalam hal arahan artistik, Visinema memang juara, tidak kalah dengan film-film A24 misalnya, yang bisa menimbulkan nuansa neo-noir. Beberapa film terakhir mereka, Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini (2020) dan Love for Sale 2 (2019) juga hebat dalam hal ini. Benny Lauda memang pengarah artistiknya, tetapi kehebatan seni ini lahir dari Angga Dwimas Sasongko.
Bagaimanapun, layaknya film-film Visinema lainnya, ada masalah pada penceritaan dan alunan film. Berkutat pada duka keluarga atas kehilangan sosok Indah, takbanyak hal yang diceritakan film ini selain menangis, menangis dan menangis yang ditembak dengan estetika sinematografi yang super-keren.
Dua puluh menit pertama film memang menggebrak, alunannya begitu baik dan ada cerita yang benar-benar ingin dibangun Ramli. Namun, setelahnya agak sulit disaksikan karena penonton kemungkinan besar lelah menangis dan menangis. Seiring dengan masuknya lagu “Melankolia” dari Efek Rumah Kaca yang telah didaur ulang Teddy Adhitya & Adityar Andra dan dinyanyikan oleh Sitha Marino, langsung terbesut, “Oh!”.
Selain ada kata Generasi 90-an, judul film juga mengandung Melankolia. Alih-alih bercerita tentang fantasi nostalgia hakiki anak ’90-an, cerita film ini memang lebih mengandung esensi lagu “Melankolia”. Dari refrain lagu ini, Cholil Mahmud menulis lirik, “nikmatilah saja kegundahan ini,” dan mungkin itulah yang diminta Ramli kepada penonton ketika menyaksikan film ini.
Jika ingin menikmati bergundah gulana saja rasanya takperlu 90 menit melihat orang-orang menangis di layar lebar. Kesedihan pun takperlu digambarkan dengan tangisan meledak-ledak dan terus-menerus. Jika punchline dikeluarkan terus-menerus, rasanya jadi datar.
Di tengah film, sempat ada percikan yang membuat cerita taklagi datar. Penguakan misteri dari Sephia dan hubungannya dengan Abby menarik, tetapi takbanyak tindak lanjut lagi karena Ramli ingin kembali fokus pada kedukaan keluarga Abby. Sosok Sephia yang justru keberadaannya paling menarik juga dihilangkan agar kita tidak lupa dengan pemecahan masalah dari duka atas kematian Indah.
Sayangnya, fase penyelesainnya bisa dikatakan kasar karena takbenar-benar ada hal untuk menjembatani menuju pemecahan masalah. Abby dan keluarganya bisa ikhlas dengan kehilangan Indah, tetapi pemicu mereka menjadi ikhlas hampir takada. Jika berbicara hanya masalah waktu, hampir takada gradasi dari kesedihan para keluarganya.
Jika melihat film sebagai seni estetika visual saja, Generasi 90-an: Melankolia dan film-film Visinema lainnya hampir tanpa cela. Namun, visual film pun harus berbahasa dan jika ingin lebih baik lagi, harus bersastra. Dalam berbahasa visual, film ini masih agak hampa. **
Discussion about this post